Buku Relasi Agama dan Negara ini dipersembahkan oleh Gamal Al-Banna yang telah berupaya menelisik terhadap fenomena sejarah munculnya Negara Islam yang diawali dari Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin, lahirnya bani Umayyah, Abbasiah, hingga fundamentalisme dan radikalisme yang terjadi diberbagai Negara Muslim Kontemporer. Gamal Al-Banna dengan bukunya ini masih sangat menaruh harapan pada wujud “Negara Islam”, tetapi sosok pemerintahan yang lebih membumikan Islam dalam membangun kemaslahatan Umat. Namun wujud ideal Negara Islam hari ini mustahil dijasadkan. Walaupun demikian yang terpenting adalah nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya bisa kita jadikan pandangan hidup kita dalam bernegara.
Negara Madina Pada Masa Nabi Sebuah Experimen yang Tak Dapat Diulang Kembali
Nabi mengajarkan kepada para pengikutnya tentang kepemimpinan Islam dengan hiasan kesabaran, keteguhan dan rela berkorban. Ini semua adalah akhlak yang harus ditanamkan dan diamalkan dalam mendirikan sebuah Negara dengan kekuatan Agama yang dilandasi dengan Kitab suci Al-Quran ini mampu menaklukkan Madinah. Inilah penaklukan Islam pertama kali tanpa melakukan sebuah kekerasan dengan menampilkan kelembutan Al-Quran, yang pada akhirnya Mekkahpun ikut takluk.
Daulah Madina Pada Masa Rasulullah SAW
Islam mengalami sebuah kemajuan baik di Madina, maupun di sekitaran Mekkah, dan hal inilah yang menambah kegelisahan dan kepanikan orang-orang Quraisy, sehingga mereka melakukan sebuah rencana menghabisi Rasulullah SAW dengan menghimpun pemuda di berbagai kabilah untuk melenyapkan Rasulullah SAW. Hal inilah yang mumbuat Rasulullah SAW bergegas hijrah Ke Madina dan orang-orang mukmin di Madina sangat senang akan kehadiran Rasulullah SAW, karena memang itu yang mereka nanti-nantikan,
Setelah Rasulullah SAW tiba di Madina Rasulullah SAW diangkat sebagai pemimpin yang ditaati oleh masyarakat Madina tanpa ada propaganda ataupun iming-iming yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap masyarakat Madina pada saat itu. Tuntutan alamiah inilah sehingga Nabi SAW membentuk sebuah “ummah jadidah” sebuah masyarakat baru yang beriman kepada Islam dan menerapkan ajarannya. Sehingga pada saat itu kaum Ansor dan Muhajirin terbangun sebuah kebersamaan yang baik, dan dengan kebersamaan itu tercipta sebuah persaudaraan seiman hingga tak terlihat lagi perbedaan antara kaum Ansor dan Muhajirin.
Untuk menyatukan kaum-kaum yang ada di Madina pada saat itu, maka Rasulullah SAW membuat sebuah piagam perjanjian yang disebut Piagam Madina. Dengan piagam ini, mereka semua menjadi satu bangsa. Kaum Yahudi yang mengikuti aturan ini harus ditolong dan berhak untuk mendapatkan perlakuan yang baik, sehingga orang Yahudi harus satu pihak dengan kaum muslimin dalam peperangan, masing-masing berhak menjalangkan keyakinan sendiri, kedua belah pihak harus saling menolong dalam mempertahankan kedamaian bersama, lebih-lebih dalam menghadapi siapapun yang mencoba menodai piagam bersama ini.
Masa kepemimpinan Rasulullah SAW di Madina pada saat itu tidak ada tentara maupun polisi. Ketika muncul benih-benih peperangan, barulah Rasulullah SAW mulai memanggil kaum muhajirin untuk menangani kasus tersebut dan meminta pertimbangan dari kaum Ansor dan tidak memerintahkan mereka untuk turun berperang karena memang kondisi mereka harus mempertahankan diri. Yang ada pada saat itu hanyalah relawan perang, yang jika diperlukan untuk berperang mereka akan berkumpul. Dan bila tidak, mereka akan kembali ke rumah mereka masing-masing. Nabi SAW tidak memaksakan kehendaknya terhadap mereka, bahkan mereka dengan suka rela melakukannya.
Fakta tidak adanya tentara, penjara ataupun ikon lain yang melambangkan sebuah kekuasaan di Madina sesungguhnya menunjukkan keperibadian Nabi sebagai pendiri negara Madina. Sifat Nabi SAW memang sangat menjauhi segala bentuk kekerasan dan kekuasaan, dengan konsentrasi pada ketaatan Iman.
Terhentinya Wahyu; Abu Bakar Mengikuti Jejak Nabi
Saat Ruh Rasulullah SAW menuju Tuhannya, maka segalanya menjadi gelap, kata salah satu sahabat Rasulullah SAW. Karena pada saat Rasulullah SAW datang ke Madina, semuanya menjadi terang benderang. Mereka merasa aman dari siksa dan merasa aman dari kesesatan, sebab wahyu senantiasa turun kepada Rasulullah SAW dengan menunjukkan jalan yang benar.
Saat Nabi wafat, maka diangkatlah Abu Bakar As-Shiddiq RA sebagai pemimpin, karena dia dianggap paling layak memegang tampuk kepemimpinan pada saat itu. Tidak dipungkiri Abu Bakar RA adalah sosok sahabat yang paling utama dan tanggung jawab berat yang mesti dipikul oleh Abu Bakar RA adalah orang pertama yang mendirikan “Negara Islam”. Eksperimen Negara Madina berhasil karena disebabkan oleh faktor perpaduan wahyu terhadap pendirinya –Rasulullah SAW- yang diaktualisasikan dalam konteks sosial politik sehingga menghasilkan sebuah negara yang benar-benar bersih dari anasir negara pada umumnya. Seperti adanya piranti kekerasan tentara dan polisi sehingga unsur kekuasaan sebagai penopang berdirinya negara bisa diganti dengan peran iman yang didukung dengan wahyu. Abu Bakar mampu meneruskan penyesuaian yang sulit ini karena mengikuti jejak Nabi SAW secara teliti dengan melanjutkan strategi politik Beliau SAW.
Sang Inovator Besar; Umar Bin Khathab yang Senantiasa Membela Keutuhan Daulah Islam
Abu Bakar dan Umar Bin Khathab, Kedua khalifah ini berhak memiliki cara dan kebijakan masing masing. Jika Abu Bakar lebih memilih landasan kebijakan sebagai “Penerus Kebijakan Nabi”, maka Umar lebih mendasari kebijakannya dengan menjadikan dirinya sebagai sang Inovator. Umar Bin Khathab RA banyak melakukan sebuah terobosan-terobosan baru, salah satunya adalah pembuatan Baitul Mal yang berfungsi mengurusi keuangan Kas Negara dan dari sinilah masyarakat mendapatkan tunjangan.
Umar Bin Khathab RA juga mencintai kaumnya tapa pilih kasih dan suka memperhatikan kemaslahatan mereka. Ia terkenal sangat hati-hati dan menjaga diri dari harta orang lain. Ia juga sangat terkenal adil terhadap rakyatnya, sehingga tak seorang kayapu ingin memiliki lebih banyak harta kecuali hanya sebatas haknya saja, dan tiada orang yang lemah merasa khawatir akan kehilangan haknya.
Segala sesuatunya telah berjalan seimbang antara poros dakwah dan poros Negara, sehingga dengan berbagai petunjuk keislaman para serdadu muslim tiap hari menyebar mencari tanah dan kemenangan baru. Sementara Umar bin Khathab RA di Madina memikirkan tata tertib serta aturan yang menjaga perjalanan Negara yang semakin luas jangkauannya ini, dan Umar Bin Khathab RA juga mengangap bahwa negara Islam saat ini telah mencapai puncak popularitas. Namun ibarat onta yang gagah dan gemuk, maka tidak ada lagi masa setelah itu selain mengalami masa susut dan semakin melemah dan inilah kecemasan terbesar Umar Bin Khathab RA.
Awal Kemunduran
Berbagai potensi yang dimiliki oleh Usman Bin Affan RA sebenarnya bisa mengikuti jejak keberhasilan Umar Bin Khathab RA. Jika dalam Kekhalifahannya yang berjalan beberapa tahun, diprioritaskan pada meneruskan kebijakan Umar Bin Khathab RA, akan tetapi rupanya Usman Bin Affan RA memilih model kebijakan yang bertolak belakang sama sekali dengan apa yang dirintis oleh Umar Bin Khathab RA, sehingga dengan keputusannya inilah telah membuka pintu Fitnah yang sebesar-besarnya terhadap dirinya, dan pada akhirnya Usman Bin Affan RA pun terbunuh.Setelah Usman Bin Affan RA meninggal, maka para sahabat membaiat Ali Bin Abi Thalib menjadi seorang Khalifah. Namun, Muawiyah menolak untuk membaiat Ali Bin Abi Thalib RA dan membuat berbagai macam manuver yang dilakukan, bahkan merencanakan untuk membunuh Ali Bin Abi Thalib RA. Dan rencana tersebut berhasil dilaksanakan pada fajar tanggal 17 Ramadhan 39 H.
Kekhalifahan Ar-Rasyidah berakhir dengan terbunuhnya Umar Bin Khathab RA dan Kekhalifahan tersebut kini dikubur bersama kematian Ali Bin Abi Thalib RA dan kini berarakhir menjadi sistem kerajaan otoriter. Dengan munculnya sistem kerajaan/otoriter ini, melahirkan sebuah kekuasaan yang bisa merusakkan ideologi. Hal itu pasti tidak bisa dielakkan sesuai dengan karakteristik aslinya. Kekuasaan pada waktu yang sama juga menjadi semacam ikon khusus yang melekat dalam wacana Negara. Artinya, bahwa negara tidak mungkin menjadi pelindung terhadap ideologi atau pemikiran karena kekuasaan yang tedapat dalam negara sudah pasti akan merusakkan ideologi. Bagian ini telah memastikan hal itu dengan melihat berbagai bukti-bukti sejarah, baik Islam, Kristen, Yahudi maupun sejarah Eropa. Diperlihatkan bahwa sifat merusak yang terdapat dalam kekuasaan tidak terbatas pada akidah Islam, akan tetap ia bisa merusakkan setiap akidah/Ideologi yang mempunyai ciri baik dan luhur.
Munculnya pula sitem ini membentuk sebuah pemerintahan yang bersifat ekspansif dan rakus yang keberadaanya tidak merepresentasikan sebuah negara Islam sama sekali. Sebab performance-nya lebih sebagai sebuah negara yang rakus, perampas kebebasan, suka perang, gemar menguasai bangsa-bangsa lain. Olehnya itu kita tidak bisa mengatakan sistem ini sebagai wajah shahih Negara Islam. Sehingga sebutan Negara Islam hanyalah sebatas pada Negara Madina saja dengan segala spesifikasinya yang tidak dapat ditiru oleh Negara manapun.
Resentor; Sarina
Resentor; Sarina

0 Komentar