Dalam dunia sastra, polemik dapat pula menjadi sebuah keniscayaan. Setiap orang berburu ruang di dalamnya, berbondong-bondong mendaulat sastra menjadi barang eksklusif yang hanya boleh dimiliki sebagian orang dan golongan (komunitas sastra/sastrawan itu sendiri). Polemik sastra seperti kebudayaan kerap terjadi, baik individu seperti perseteruan antara Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka perihal didakwanya Hamka sebagai plagiator atas novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wick atau semisal kelompok seperti perseteruan antara Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat)—sebuah lembaga kesenian yang memiliki pandangan bahwa sastra dan kesenian pada umunya harus selalu bicara tentang keresahan sosial serta perjuangan rakyat dengan napas realisme sosialis dengan Manikebu (Manifes Kebudayaan)—sebuah kontra narasi dari lembaga kesenian yang berpandangan lain, bahwa sastra itu sifatnya humanis universal, atau sederhananya sastra ya untuk sastra, atau seni untuk seni.Beberapa tahun belakangan ini terjadi kembali sebuah polemik sastra, yaitu Puisi Esai dari Denny JA—seorang konsultan politik terkenal yang pernah dinobatkan sebagai satu dari 30 orang paling berpengaruh di internet versi majalah TIME. Namun, sebagian sastrawan mengatakan kalau "puisi esai itu tidak cukup untuk menjadi sebuah polemik dan hanya berada pada tingkatan kontroversial saja" atau di dalam esai Weni Suryandari – Puisi Esai, Apa dan Kenapa harus Ditolak, menganggap bahwa tidak ada polemik perihal Puisi Esai, yang ada hanya sebuah perlawanan dan penyudahan atas gerakan manipulasi sejarah sastra Indonesia.
Di dalam buku Skandal Sastra Undercover yang menghimpun 48 esai dari pelbagai sastrawan di tanah air ini yang diantara kontributornya tersebut ada nama sastrawan kawakan seperti Remy Sylado dan kritikus sastra Maman S. Mahayana dengan secara gamblang dan terang-terangan menunjukkan bagaimana Denny JA dengan uang dan segala koneksinya berusaha memanipulasi sejarah sastra Indonesia dengan mendudukkan posisi sastra seperti objek survei yang bisa diukur menggunakan hitungan kuantitatif, di mana dia pula dengan sekonyong-konyong tanpa tempaan zaman yang panjang menasbihkan dirinya sebagai pembaharu dalam penulisan puisi di Indonesia.
Dari hasil surveinya, Denny JA menganggap bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan dan merindukan puisi dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti di tengah puisi modern dengan segala keruwetannya—yang belakang menjadi alasan kenapa puisi esai itu tercipta dengan menggunakan catatan kaki sebagai penjelas dari tubuh puisi agar terhindar dari kebingungan intrepertasi atas puisi itu. Puisi yang dianggap Denny JA sebagai puisi yang lebih dekat dengan rakyat.
Apa itu puisi esai dan keunggulannya? Kenapa ia juga membuat kisruh masyarakat sastra Indonesia? Menurut Denny JA puisi esai adalah puisi yang bercita rasa esai atau esai tentang isu sosial yang puitik –yang disampaikan secara puitis. Yang membedakannya dari balada atau puisi naratif lainnya terletak pada catatan kaki—yang bagi Denny JA sebagai suatu kebaruan dalam jenis puisi di Indonesia. Dalam penjelasannya, Denny JA mengatakan pula bahwa puisi esai itu adalah puisi yang merekam keresahan sosial seperti balada Rendra, tetapi dalam bentuknya ia menggunakan catatan kaki sebagai pembeda—pada bagian ini pula ia melantik dirinya sebagai penemu baru dalam penulisan puisi, kendati dilihat dari segi bentuknya puisi esai bukan hal yang baru. Amir Hamzah pernah menuliskan hal yang sama, dan jauh ke sastra dunia Alexander Pope pada ratusan tahun yang lalu pernah menulis Poetry Essay dengan judul An Essay On Man. Kenapa puisi bukan hal yang baru? Faktanya, dalam esai yang ditulis Dwi Rahariyoso Puisi Esai: Kebaruan Atau Paradoksal Dalam Puisi Indonesia menuturkan bahwa puisi esai tidak cukup kuat untuk menjadi sebuah jenis puisi baru, sebab secara substansial ia masih terikat dengan pakem lama dan catatan kaki sebagai bagian penting puisi esai belum mampu memengaruhi kedudukan puisi secara struktural.
Selanjutnya yang membuat masyarakat sastra Indonesia geram adalah Denny JA membiayai sebuah proyek penulisan buku: “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia” dan menempatkan namanya masuk ke dalam ke 33 orang tersebut dan berkedudukan setara serta memiliki pengaruh yang sama besarnya dalam sastra Indonesia dengan WS Rendra, Chairil Anwar, Taufik Ismail, HB Jassin serta sastrawan besar lainnya yang tidak perlu dipertanyakan pengaruhnya dalam sejarah sastra Indonesia. Dengan alasan bahwa ia, Denny JA, telah menciptakan sebuah genre baru dalam puisi yaitu puisi esai. Puisi dengan catatan kaki.
Kenapa Denny JA ditolak dan dicekal sebagian sastrawan dan sampai mendapatkan petisi dari kelompok forum penyair muda yang ditandatangani lebih dari 3500 orang di seluruh Indonesia kendati Denny JA berdalih bahwa 3500 petisi tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia dengan perhitungan ala surveinya. Ternyata bukan dari segi puisi esainya dia ditolak (dalam puisi tidak sekali pun orang yang dapat membatasi imajinasi) tetapi cara yang digunakan untuk mendaulat dirinya sebagai tokoh sastra berpengaruh—dengan menggunakan cara-cara politik—membiayai tim 8 yang menyusun buku 33 tokoh sastra berpengaruh serta proyek puisi esai se-Indonesia dengan membayar tiap penyair lima juta rupiah sebagai honorarium. Menggelontorkan ratusan juta rupiah hanya untuk mempopulerkan puisi esai sebagai satu jenis puisi yang dia ciptakan adalah cara-cara paling tidak etis demi gelar sastrawan yang sangat prestisius.
Kita perlu mengapresiasi GAS (Gerakan Skandal Sastra) sebagai gerakan perlawanan demi menjaga kemurnian sejarah sastra Indonesia dari pihak-pihak yang ingin mencederainya dengan cara-cara manipulatif. Terkhusus kepada Sosian Lewak dan kawan-kawan yang menginisiasi gerakan dan penerbitan dua buah buku Skandal Sastra Undercover yang terdiri dari kumpulan puisi dan kumpulan esai, sebab dari kedua buku tersebut, khususnya kumpulan esai ini, kita sebagai masyarakat awam dapat tahu tentang apa yang sebetulnya terjadi dengan tubuh sastra kita, disamping untuk selalu menjaga nalar kritis dan budaya kritik sastra yang baik—yang belakangan semakin hilang dalam khazanah sastra kita hari ini.
Namun, yang luput dari buku ini adalah tidak adanya satu pun esai yang membahas latar belakang mengapa Denny JA sangat ingin menjadi tokoh berpengaruh dalam sejarah sastra sehingga ia melakukan manever untuk memanipulasi sejarah sastra Indonesia atau menjelaskan apa penting dan keuntungannya menjadi tokoh sastra berpengaruh di Indonesia? Apa yang ia inginkan dari sebuah gelar sastrawan berpengaruh? Jika uang, tentunya tidak. Sebab Denny JA adalah konsultan politik yang tidak kekurangan uang. Jika gelar keabadian dalam sejarah, bukankah waktu yang akan selalu memainkan perannya untuk menjawab seberapa berpengaruh tokoh untuk dikenang? Apakah tokoh itu terkenang dengan kontroversi yang ia buat atau tergerus dengan sendirinya oleh arus zaman. Barangkali Denny JA perlu merenungi kata-kata dari Remy Sylado ini: “Nilai kehormatan dalam kebudayaan adalah sejarah pewarisan kebijaksanaan dari leluri para pendahulu. Artinya kita wajib secara sukarela menimba kearifan, kebajikan, keadaban, dari luar diri kita dalam tarikh yang berprogres. Menokohkan diri sendiri seperti yang dipraktikkan oleh Denny JA adalah suatu jalan sesat, congkak dan sombong”.
Dalam dunia sastra itu sendiri tentu tolok ukur menjadi sastrawan adalah karya-karya masterpiece. Sayangnya, sejauh ini Denny JA hanya menulis 5 puisi esai dalam buku puisinya Atas Nama Cinta. Sudah cukupkah itu untuk mendaulat dirinya sebagai sastrawan berpengaruh di belantara Sastra Indonesia?
Dari hasil surveinya, Denny JA menganggap bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan dan merindukan puisi dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti di tengah puisi modern dengan segala keruwetannya—yang belakang menjadi alasan kenapa puisi esai itu tercipta dengan menggunakan catatan kaki sebagai penjelas dari tubuh puisi agar terhindar dari kebingungan intrepertasi atas puisi itu. Puisi yang dianggap Denny JA sebagai puisi yang lebih dekat dengan rakyat.
Apa itu puisi esai dan keunggulannya? Kenapa ia juga membuat kisruh masyarakat sastra Indonesia? Menurut Denny JA puisi esai adalah puisi yang bercita rasa esai atau esai tentang isu sosial yang puitik –yang disampaikan secara puitis. Yang membedakannya dari balada atau puisi naratif lainnya terletak pada catatan kaki—yang bagi Denny JA sebagai suatu kebaruan dalam jenis puisi di Indonesia. Dalam penjelasannya, Denny JA mengatakan pula bahwa puisi esai itu adalah puisi yang merekam keresahan sosial seperti balada Rendra, tetapi dalam bentuknya ia menggunakan catatan kaki sebagai pembeda—pada bagian ini pula ia melantik dirinya sebagai penemu baru dalam penulisan puisi, kendati dilihat dari segi bentuknya puisi esai bukan hal yang baru. Amir Hamzah pernah menuliskan hal yang sama, dan jauh ke sastra dunia Alexander Pope pada ratusan tahun yang lalu pernah menulis Poetry Essay dengan judul An Essay On Man. Kenapa puisi bukan hal yang baru? Faktanya, dalam esai yang ditulis Dwi Rahariyoso Puisi Esai: Kebaruan Atau Paradoksal Dalam Puisi Indonesia menuturkan bahwa puisi esai tidak cukup kuat untuk menjadi sebuah jenis puisi baru, sebab secara substansial ia masih terikat dengan pakem lama dan catatan kaki sebagai bagian penting puisi esai belum mampu memengaruhi kedudukan puisi secara struktural.
Selanjutnya yang membuat masyarakat sastra Indonesia geram adalah Denny JA membiayai sebuah proyek penulisan buku: “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia” dan menempatkan namanya masuk ke dalam ke 33 orang tersebut dan berkedudukan setara serta memiliki pengaruh yang sama besarnya dalam sastra Indonesia dengan WS Rendra, Chairil Anwar, Taufik Ismail, HB Jassin serta sastrawan besar lainnya yang tidak perlu dipertanyakan pengaruhnya dalam sejarah sastra Indonesia. Dengan alasan bahwa ia, Denny JA, telah menciptakan sebuah genre baru dalam puisi yaitu puisi esai. Puisi dengan catatan kaki.
Kenapa Denny JA ditolak dan dicekal sebagian sastrawan dan sampai mendapatkan petisi dari kelompok forum penyair muda yang ditandatangani lebih dari 3500 orang di seluruh Indonesia kendati Denny JA berdalih bahwa 3500 petisi tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia dengan perhitungan ala surveinya. Ternyata bukan dari segi puisi esainya dia ditolak (dalam puisi tidak sekali pun orang yang dapat membatasi imajinasi) tetapi cara yang digunakan untuk mendaulat dirinya sebagai tokoh sastra berpengaruh—dengan menggunakan cara-cara politik—membiayai tim 8 yang menyusun buku 33 tokoh sastra berpengaruh serta proyek puisi esai se-Indonesia dengan membayar tiap penyair lima juta rupiah sebagai honorarium. Menggelontorkan ratusan juta rupiah hanya untuk mempopulerkan puisi esai sebagai satu jenis puisi yang dia ciptakan adalah cara-cara paling tidak etis demi gelar sastrawan yang sangat prestisius.
Kita perlu mengapresiasi GAS (Gerakan Skandal Sastra) sebagai gerakan perlawanan demi menjaga kemurnian sejarah sastra Indonesia dari pihak-pihak yang ingin mencederainya dengan cara-cara manipulatif. Terkhusus kepada Sosian Lewak dan kawan-kawan yang menginisiasi gerakan dan penerbitan dua buah buku Skandal Sastra Undercover yang terdiri dari kumpulan puisi dan kumpulan esai, sebab dari kedua buku tersebut, khususnya kumpulan esai ini, kita sebagai masyarakat awam dapat tahu tentang apa yang sebetulnya terjadi dengan tubuh sastra kita, disamping untuk selalu menjaga nalar kritis dan budaya kritik sastra yang baik—yang belakangan semakin hilang dalam khazanah sastra kita hari ini.
Namun, yang luput dari buku ini adalah tidak adanya satu pun esai yang membahas latar belakang mengapa Denny JA sangat ingin menjadi tokoh berpengaruh dalam sejarah sastra sehingga ia melakukan manever untuk memanipulasi sejarah sastra Indonesia atau menjelaskan apa penting dan keuntungannya menjadi tokoh sastra berpengaruh di Indonesia? Apa yang ia inginkan dari sebuah gelar sastrawan berpengaruh? Jika uang, tentunya tidak. Sebab Denny JA adalah konsultan politik yang tidak kekurangan uang. Jika gelar keabadian dalam sejarah, bukankah waktu yang akan selalu memainkan perannya untuk menjawab seberapa berpengaruh tokoh untuk dikenang? Apakah tokoh itu terkenang dengan kontroversi yang ia buat atau tergerus dengan sendirinya oleh arus zaman. Barangkali Denny JA perlu merenungi kata-kata dari Remy Sylado ini: “Nilai kehormatan dalam kebudayaan adalah sejarah pewarisan kebijaksanaan dari leluri para pendahulu. Artinya kita wajib secara sukarela menimba kearifan, kebajikan, keadaban, dari luar diri kita dalam tarikh yang berprogres. Menokohkan diri sendiri seperti yang dipraktikkan oleh Denny JA adalah suatu jalan sesat, congkak dan sombong”.
Dalam dunia sastra itu sendiri tentu tolok ukur menjadi sastrawan adalah karya-karya masterpiece. Sayangnya, sejauh ini Denny JA hanya menulis 5 puisi esai dalam buku puisinya Atas Nama Cinta. Sudah cukupkah itu untuk mendaulat dirinya sebagai sastrawan berpengaruh di belantara Sastra Indonesia?
0 Komentar