Ekonomi Politik Media

Buku Ekonomi Politik Media, karya Filosa Gita Sukmono dan beberapa penulis lainnya yang di terbitkan pada tahun 2003 ini menjadi sebuah kajian kritis terhadap media di dunia dan terkhusus di Indonesia, melihat berbagai dampak yang ditimbulkan dari yang positif sampai negatif dan menjadi konsumsi masyarakat dunia setiap harinya. Maka tak mengherankan jika media adalah salah satu alat para elit kapitalis untuk meraup untung yang sangat banyak, dengan memanfaatkan konten dan tayangan-tayangan untuk merangsang para penonton membuat merasa nyaman dan terhibur, juga menciptakan sebuah kesadaran palsu ketika melihat dan mendengarkannya. 

Pada bagian pertama, Filosa menjelaskan tentang Komodifikasi Seksualitas dalam Iklan. Seperti yang kita amati bersama, bahwa kemajuan teknologi dunia terutama di Indonesia yang masih mengalami tahap berkembang menuju negara maju, penggunaan teknologi yang baik akan sangat membantu percepatan majunya sebuah negara. Namun di sisi lain, para elit kapital juga menjadikannya sebagai sebuah alat untuk menjarah alam bawah sadar dan menciptakan kesadaran palsu di kepala masyarakat, seperti yang di paparkan oleh Michel Foucault, bahwa ketika seks itu ditekan atau mengalami represi, maka segala sesuatu tentang seks bisa dijadikan komoditas (Ekonomi Politik Media, hal 2). 

Seksualitas jika dibungkus secara rapi dan bersih akan membuat masyarakat mudah untuk menerimanya, karena seks akan sangat berguna untuk mengontrol dan menciptakan sebuah kepuasan pribadi saat alat indera manusia menerimanya. Filosa menuliskan beberapa jenis konten seksual pada tayangan TV, terutama iklan, diantaranya yaitu ketelanjangan, menggoda atau kontak mata, kecantikan fisik, proses editing yang menciptakan kesan seksual seperti efek cahaya dan pengaturan musik, hingga penggunaan benda sebagai tindakan seksual. 

Bagian kedua yaitu Strukturasi Budaya Populer atau Hallyu. Hallyu adalah sebuah industri budaya raksasa yang memproduksi produk-produk budaya populer untuk disebarluaskan secara global (Ekonomi Politik Media, hal 18). Hallyu adalah sebuah bentuk ekonomi kreatif Korea Selatan untuk bisa lepas dari krisis ekonomi pada 1998. Maka tak heran jika Korea Selatan memasukkan produknya dengan mempertontonkan budayanya dari segi musik yang kini sangat digandrungi oleh remaja di Indonesia. Strukturasi ras juga berlaku di sini, di mana negara Korea Selatan yang seluruh masyarakatnya berkulit putih akan menanamkan dalam kepala kita bahwa putih itu cantik dan sebagainya. Akibatnya orang-orang akan saling berlomba membeli produk pemutih agar terlihat cantik,  dan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keragaman budaya yang sangat banyak justru tergerus oleh masuknya produk budaya dari negara asing ini. Bukan hanya berupa perubahan tingkah laku dan tampilan fisik, tetapi juga di pasar atau tempat perbelanjaan di Indonesia sudah sangat banyak produk asing yang masuk dan mematikan produk lokal Indonesia. Persaingan para elit kapital menjadikan budaya sebagai komoditi atau alat untuk menambah pundi-pundi rupiah. 

Komodifikasi Penonton bayaran di Tanah Air

Tak bisa dipungkiri bahwa peran penonton bayaran pada acara TV seperti talk show dan sebagainya menambah rating suatu acara, maka industri media di tanah air menggunakan itu sebagai pendongkrak popularitas artis dan rating acaranya, sehingga kita semakin sulit mendapatkan acara yang orisinil atau tanpa penonton bayaran. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa menjadi penonton bayaran sebagai profesi yang menjanjikan, fenomena ini mulai merambah dunia hiburan sejak tahun 2000an dengan berbagi latar belakang atau alasan untuk menjadi penonton bayaran, ada yang murni ingin masuk televisi, sampai faktor ekonomi. Tetapi tentunya ada syarat khusus untuk menjadi penonton bayaran. Filosa Gita Sukmono menyebutkan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang penonton bayaran, yaitu camera face, memiliki skill make up, memiliki peralatan make up dan kostum, komunikatif dan responsif (Ekonomi politik media, hal 46. 

Tentunya dengan alasan mereka akan lebih disorot kamera dibandingkan dengan sebut saja penonton natural. Penonton bayaran juga lebih mudah diatur sesuai dengan kebutuhan acara dibanding penonton natural karena mereka dibayaruntuk datang. Untuk mengejar rating penyiaran, akhirnya mengesampingkan etika dan moralitas, karena salah satu syarat acara TV tetap berjalan ialah mempunyai rating tinggi atau orang-orang suka dengan acara yang ditayangakan, maka tayangan-tayangan yang ditampilkan harus sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia atau paling tidak media harus mampu membuat penonton terbawa arus tayangan televisi. Pada akhirnya para penonton bayaran akan diarahkan sesuka hati oleh para kapitalis besar media sesuai dengan kepentingan tayangannya. 

Komodifikasi Agama dalam Sebuah Program Acara Televisi

Agama yang nilainya mengandung nilai keluhuran dan bersifat universal dari sang Ilahi, kini mengalami modifikasi besar-besaran hanya untuk memenuhi kebutuhan para kiai pencari laba. Modifikasi yang dilakukan oleh program acara disesuaikan dengan kebutuhan, dikemas dalam beberapa bentuk seperti film religi, lomba ceramah dan program acara dakwah. Hal ini kembali mengingatkan saya pada tiga fakultas feurbach, yaitu akal budi, kehendak, dan perasaan yang pada tayangan religi di televisi penekanannya hanya berpusat pada dua fakultas saja, yaitu akal budi yang menjadikan pandangan sesorang hanya fokus melihat peluang usaha dan kehendak yang di mana hawa nafsu diarahkan untuk meraup untung menjadi fondasi awal para penyelenggara acara. 

Jika dikaji lebih dalam lagi, ada banyak sekali tayangan televisi yang dibungkus dalam bingkai agama, namun tidak menunjukkan substansi dari agama itu sendiri. Semua hanya pemenuhan kebutuhan pada tayangan, agar rating acaranya bisa naik. Media tidak lagi berfokus pada kesakralan agama, namun barusaha agar yang menjadi tayangannya dinikmati banyak orang mengundang jutaan mata untuk melihat agar iklan bisa dinaikkan. Maka pengisi acara juga harus menunjukkan hal yang menjadi daya tarik, biasanya para penceramah mengemas ceramahnya dengan lawakan, membuat orang tertawa atau mengazab orang-orang yang dianggapnya berdosa, memberi gambaran pada agama sebagai momok yang menakutkan. 

Kesimpulannya adalah media dalam berbagai hal tidak berimbang dalam penayangannya, banyak hal yang harusnya tidak dilakukan namun menjadi halal untuk dikerjakan, jika itu menyangkut rating dan pendapatan media dari iklan dan lainnya. Media sebagai wadah yang memberikan sajian mendidik dan berimbang dalam menyampaikan informasi kini sudah terdisrupsi oleh kepentingan mencari untung. Menjadi seorang kapitalis artinya tidak lagi hidup secara manusiawi, semua akan dinilai dari segi materi saja. Nama Tuhan pun yang menjadikannya ada dibuat sedemikian rupa dalam bentuk berbeda agar diterima dan disukai masyarakat. Dan sedikit demi sedikit, Tuhan akan kehilangan esensi keilahiaannya di masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar