Buku yang saya resensi kali ini adalah hadiah langsung dari penulisnya yaitu seorang ilmuwan otak Indonesia yaitu Dr. dr. Taufiq Pasiak, M.Kes, MPd.I yang memiliki minat khusus pada penelitian: Neuroscience and Sprituality (Positive Neuropsychology), Self Control and Brain, ‘Food Psychology’ and Obesity. Buku ini khusus membahas bagaimana melakukan perubahan diri berbasis ilmu otak.
Buku ini sangat kaya dari sisi referensi maupun dari sisi substansi jadi menurut saya, sangat sayang jika hanya dibaca melalui resensi yang saya tulis ini. Adapun yang akan saya resensi hanyalah gambaran umum dari buku ini yang sifatnya subyektif. Buku ini terdiri dari 252 halaman dan 6 Bab. Berturut-turut sebagai berikut: Sifat-sifat Otak Temuan Neurosains; Otak dan Spiritualitas; Otak dan Berpikir; Otak dan Emosi; Otak, Musik, dan Gerak.
Pendahuluan
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Q.S Al-Ra’d: 11). Hanya dengan memperbaiki diri dahulu maka perbaikan yang lebih luas akan dapat dilakukan. Perubahan diri merupakan hasil sebuah proses integratif yang melibatkan banyak ilmu dan pendekatan. Jika ingin mengubah diri, maka mustahil hanya menggunakan satu jenis ilmu, satu pendekatan, satu jenis strategi, dan satu jenis cara. Kesan ini sekaligus memberikan pencerahan bahwa menguasai satu jenis ilmu sangatlah tidak cukup untuk menangani banyak masalah manusia dan kemanusiaan.
Sejak Thomas Khun memperkenalkan istilah “Revolusi Paradigma”, telah terjadi banyak sekali perubahan paradigma yang mengubah banyak cara pandang manusia terhadap alam dan manusia, sekalipun penerapan paradigma baru itu belum terjadi sepenuhnya.[1] Fisika baru dicirikan oleh tiga prinsip berikut yang memungkinkannya melihat pelbagai fenomena secara utuh[2]:
1. Interdependensi; bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling bergantung dan saling terhubung. Bagian terbesar dari setiap material (yang kecil umumnya dikenal sebagai atom) sesungguhnya adalah “ruang kosong” yang sisinya adalah sejumlah unit energi atau gelombang, yang disebut kuantum. Pendekatan kuantum memungkinkan semua hal saling terhubung.
2. Diferensiasi; bahwa terdapat dorongan kontinu dari setiap komponen alam semesta untuk menghasilkan keanekaragaman. Alam semesta tidak pernah membuat hal yang sama. Sebagai contoh, sekalipun manusia adalah hasil dari proses kehamilan yang sama selama jutaan tahun, tetapi kita tidak pernah menjadi makhluk yang sama. Konsekuensi logis dari prinsip kedua ini adalah kelapangan untuk menerima perbedaan dalam semua segi kehidupan.
3. Pengaturan diri; bahwa setiap benda hidup di alam semesta memiliki suatu potensi bawaan untuk mempertahankan diri dan melanggengkan dirinya. Prinsip ketiga ini membawa kita pada pengertian tentang pentingnya menata diri. Artinya, rancanglah dengan baik usaha Anda untuk mengubah diri. Perubahan diri harus by design, bukan by accident.
Perubahan paradigma tentang organisme manusia yang utuh dikukuhkan dengan banyak penemuan dalam neurosains yang menyibak kedahsyatan otak manusia. Otak manusia terbukti merupakan bagian tubuh yang tidak saja dicirikan oleh komponen-komponen struktural (seperti dipelajari ahli anatomi selama ini dan diaplikasikan secara klinis oleh para ahli saraf dan ahli bedah saraf).
Otak manusia merupakan bagian tubuh yang kedahsyatannya terjadi karena interdependensi (kesalingbergantungan) seluruh komponen-komponennya. Kedahsyatan otak terjadi karena adanya sirkuit-sirkuit canggih yang terbentuk ketika semua komponen otak bekerja secara harmonis. Keberadaan otak sebagai sirkuit juga dapat menjelaskan kejadian bawah sadar yang oleh Malcolm Gladwell disebut Blink[3].
Blink adalah kesimpulan seseorang yang lahir dalam dua detik pertama. Blink dapat terjadi karena otak kita memiliki alam bawah sadar yang oleh Gladwell disebut adaptive unconscious. Snap judgement (kesimpulan cepat) dan thin clicing (cuplikan tipis) yang membangun blink itu terutama dimainkan oleh sirkuit yang berpusat di cortex prefrontalis, terutama bagian yang bermana cortex ventromedialis.
Lima asumsi utama yang membangun Whole Brain Thinking (WBT) ini adalah: (1) Perubahan paling substansial adalah perubahan pada diri sendiri, (2) Manusia dibangun oleh empat komponen utama (tubuh, akal, nafsu, dan ruh) yang saya sebut sebagai kapasitas mental, (3) Otak manusia bekerja sebagai sebuah sirkuit canggih untuk mendukung bekerjanya kapasitas mental, (4) Perubahan yang harus lebih dulu dilakukan adalah perubahan pada mindset, pada cara seseorang memandang dunia dan peristiwa, (5) Setiap orang memiliki keunggulan. Jauh lebih penting mengoptimalkan keunggulan daripada menutupi kelemahan.
Mengubah cara berpikir adalah kegiatan paling sulit, tetapi memiliki efek yang spektakuler. Perubahan-perubahan bersejarah yang berhasil membangun peradaban adalah perubahan-perubahan yang bermula pada cara berpikir. Nabi Muhammad Saw yang mengubah mindset orang Makkah dari politeisme menjadi monoteisme, Nabi Isa as (Yesus Kristus) yang mengubah hukum besi menjadi hukum kasih, Martin Luther mengubah rasialisme menjadi egalitarianisme, Karl Marx mengubah cara pandang terhadap materi dan alat-alat produksi, para feminis mengubah cara pandang terhadap perempuan.
Sifat-Sifat Otak: Temuan Neurosains
Otak adalah mesin canggih yang diciptakan untuk berubah. Didalamnya berisi cetak biru (blue print) kemanusiaan kita. Tidak usah heran jika sebagian besar sikap dan perilaku baik bukanlah sesuatu yang dipelajari (nurture), tetapi dibawa sejak lahir (nature). Setidak-tidaknya ada lima keunikan lagi berkaitan dengan perkembangan otak sejak dari masa bayi, yaitu melihat suara dan mendengar warna, emosi tidak sadar, memiliki ingatan emosional, memiliki ingatan tempat yang kuat dan memiliki kemampuan berbicara (memahami pembicaraan).
Erick Kandel, ahli saraf yang mendapatkan Nobel Kedokteran 2002, menemukan bahwa pengondisian stimulus dapat menata molekul-molekul kimia yang berkaitan. Penemuan ini membuktikan bahwa apa yang kita sebut sebagai keadaan-keadaan psikologis (kejiwaan) sesungguhnya tidak terlepas dari keadaan neurobiologis. Pikiran dan perasaan, bahkan keseluruhan jiwa kita, memiliki biological roots (dasar-dasar biologis). Aplikasi klinisnya antara lain: Psikoterapi dan pendidikan dapat mengubah biometabolisme neurotransmiter dan biostruktur sinapsis; Nature dan nurture mempengaruhi penyusunan sinapsis sel saraf yang kemudian menyusun mind dan behavior.[4]
Paul McLean, ahli dalam evolusi biologi membagi otak menurut perkembangan evolusinya menjadi tiga lapis: (1) lapisan Neomamalia, merupakan lapisan otak yang paling akhir muncul. Lapisan ini bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking), antara lain persepsi dan bahasa. Lapisan ini hanya ada pada mamalia tertentu dan paling lengkap ada pada otak manusia; (2) lapisan paleomamalia, selain ditemukan pada manusia, lapisan ini merupakan sistem limbik yang bertanggung jawab untuk pengaturan emosi; dan (3) otak reptil; bagian ini terutama berfungsi mendukung kegiatan vegetatif tubuh manusia, seperti bernapas dan pengaliran darah, termasuk respons fight dan flight.[5] Kedewasaan, kebijaksanaan, kearifan, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional, disebabkan oleh dominasi neocortex (neomamalia) terhadap sistem limbik (paleomamalia).[6]
Instrumen yang disebut The Herrmann Brain Dominance Instrument (HBDI) membagi otak menjadi empat bagian yang disebut kuadran. Kuadran A yang terletak pada otak kiri atas bekerja dengan mengacu pada Fakta (Fakta apa saja yang ada). Kuadran B pada otak kiri bawah berkaitan dengan Form (bagaimana sebuah peristiwa berlangsung), kuadran C pada kanan bawah dihubungkan dengan Feelings (bagaimana suasana psikologis yang timbul) dan kuadran D pada kanan atas berkaitan Futures (bagaimana efek sebuah kejadian terhadap hal-hal lain).[7] Neurosaintis Joseph LeDoux yang penemuannya soal emosi telah mengilhami Daniel Goleman merumuskan Kecerdasan Emosi (EQ) misalnya menyebutkan synaptic self untuk merujuk pada proses dan struktur mental manusia. “Diri kita tak lebih dari proses unik pada tingkat sinapsis”, kata LeDoux.[8]
Hess pada tahun 1930-an berhasil menempatkan elektroda ke dalam otak dan memonitornya dari luar. Flynn (1967) berhasil memicu sikap dan perilaku membunuh pada kucing dengan memberikan rangsangan listrik pada area otak. Hofstatter dan Girgis (1972) melaporkan hal serupa pada monyet. Delgado (1969) berhasil meredam perilaku agresif banteng aduan hanya dengan meletakkan elektoda yang ditanamkan dalam amygdala banteng dengan menggunakan gelombang radio. Bedah jiwa (psychosurgery) pertama kali dilakukan oleh Moniz (1936) terhadap penderita depresi dan schizophrenia.[9]
Intervensi pendidikan ternyata bisa mencapi hingga sintesis protein di tingkat gen. Para ahli yakin bahwa pendidikan dapat mengubah tidak saja perilaku orang, tetapi juga mengubah struktur sinapsis. Pendidikan, karena itu, dapat merupakan teknologi otak yang lebih soft untuk mengubah manusia. Pendidikan yang bertumpu pada penggalian keunggulan manusia daripada memasalahkan kelemahannya merupakan teknologi paling bagus untuk menciptakan manusia cerdas dan baik.[10]
Otak dan Spiritualitas
Secara lahiriah, setiap orang yang dilahirkan sudah membawa tiga buah dorongan yang dapat menjadi daya dorong setiap kegiatan kehidupannya. Dorongan-dorongan itu, yang terdiri dari empat dorongan: belajar (to learn), bertahan (to defend), mendapatkan sesuatu (to acquire), dan terikat (to bond) dengan orang lain. Dorongan- dorongan ini tersimpan, bagaikan program-program computer yang diinstal, di dalam otak, terutama pada cortex prefrontalis dan sistem limbik.[11]
Ketika seseorang beranjak dewasa, maka lobus frontal –bagian otak yang terletak persis di belakang dahi- berkembang penuh dan menjadi lebih kompleks. Sinapsis yang terbentuk makin banyak dan fungsi yang dimainkan pun makin kompleks. Fungsi bagian ini, terutama yang bernama cortex prefrontalis, berkaitan dengan kepribadian, identitas diri, social judgment, dan kearifan.[12]
Ramachandran (1997), peneliti sebelum Persinger, menemukan bahwa perasaan mistis terkait dengan lobus temporal. Setelah dua kelompok subjek (orang normal dan penderita epilepsi) dipasangi monitor gelombang otak di otak bagian pelipisnya, terlihat bahwa subjek normal menunjukkan peningkatan aktivitas gelombang otak ketika diberikan nasihat-nasihat religius, persis sama dengan penderita epilepsi yang sedang kena serangan.[13] Lobus temporal disebut juga sebagai “God Spot” (Titik Tuhan) karena daerah ini akan terangsang (dan dapar dirangsang) untuk memunculkan pengalaman-pengalaman mistis.
Menurut Soedjono Aswin dan Taufiq Pasiak, pengalaman spiritual dan perasaan-perasaan mistis merupakan mahakarya dari interkoneksi sel-sel otak yang membentuk sirkuit canggih di antara banyak komponen otak. Tidak ada locus tertentu otak untuk hal ini, tetapi merupakan kerja harmonis seluruh bagian otak.
Setelah membaca, menelusuri, berdiskusi, dan meneliti isi semua kitab suci, ajaran-ajaran kuno, tulisan-tulisan orang arif dan para mistikus, serta puisi-puisi penyair religius yang ada di dunia ini, Danah Zohar dan Ian Marshal (2004), menyimpulkan bahwa enam sikap utama yang ada pada semua ajaran itu: kearifan dan pengetahuan, keberanian, cinta dan kemanusiaan, keadilan, kesederhanaan, spiritualitas dan transendensi.Berdasarkan riset-riset di atas, enam sikap mental dan internalisasi nilai-nilai ini adalah bagian penting dari apa yang secara filosofis kita sebut iman. Tidak beriman seseorang jika ia tidak mempraktikkan nilai-nilai mental yang baik, yang ditulis oleh kitab-kitab suci itu.
Spiritualitas dan kecenderungan manusia untuk menjadi makhluk spiritual ternyata merupakan bawaan (nature) yang sengaja disiapkan oleh sang pencipta. Faktor-faktor sosiologis dan kultur kemudian membingkai bawaan spiritualitas itu sebagai ritus-ritus yang penuh dengan simbol-simbol.
Manusia tidak perlu diajar tentang Tuhan karena memang ia sudah tahu secara alamiah tentang itu. Agama-agama hanyalah sarana untuk memberikan bentuk dan cara kepada pengenalan akan Tuhan.
Menurut Musa Djabar seorang arif dan mistikus, ada cara sederhana untuk mengontrol diri yaitu bicara seperlunya, makan secukupnya, dan tidur sekadarnya.
Otak dan Berpikir
Filsuf dan penulis Milton, dalam karyanya Paradise Lost, menyatakan bahwa pikiran (berpikir) dapat membuat surga dari neraka dan neraka dari surga. Mistikus dan pemusik India, Hazrat Inayat Khan bahkan berpendapat bahwa you are what you think (Anda adalah apa yang Anda pikirkan). Jika kita berpikir siapa, apa, dan bagaimana kita, maka jadilah kita seperti itu. Ahli otak Mariam Diamond lebih hebat lagi menyatakan bahwa pikiran (otak) dapat mengubah takdir (talenta).
Kita pasti pernah mengalami keadaan di mana kita cenderung untuk menerima, menyimpan dalam pikiran, dan mengingat-ingat pendapat yang menyokong apa yang kita sampaikan. Tidak penting soal benar-salahnya. Bahkan kita kerap menjadi pemusnah gagasan bagus orang lain yang dianggap bertentangan dengan apa yang kita sampaikan. Inilah bentuk sempit berpikir.
Ada enam jurus sesat pikir yaitu pertama disebut egocentric righteousness. Dalam kalimat ringkas: “Kebenaran adalah saya dan saya adalah kebenaran.” Membuat kita merasa lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Kita menutup telinga dari pendapat lain. Kedua disebut egocentric myopia yaitu kecenderungan tidak mau mempelajari, mencari tahu, atau menambah wawasan hal-hal lain yang bertentangan dengan apa yang kita yakini.
Ketiga, egocentric memory yaitu saking kuatnya memori dalam otak kita yang mendukung gagasan tertentu, sering kali hal-hal yang salah mendapat justifikasi tanpa kita sadari. Pemikiran kita kehilangan kotrol. Keempat, egocentric blindness yaitu kita cenderung tidak mempercayai fakta atau data yang menggugat apa yang sudah kita percayai sebelumnya, sekalipun fakta itu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kelima, overgeneralisation yaitu kecenderungan membuat generalisasi (pukul rata) secepat mungkin atas setiap perasaan dan pengalaman kita. Jika kita merasakan ada sesuatu yang tidak beres atau kurang menyenangkan dari suatu kejadian, maka kita menggeneralisasi bahwa sepanjang waktu tertentu kita pasti menjadi sial atau hidup tanpa kesenangan. Keenam, egocentric oversimplification yaitu kecenderungan mengabaikan hal-hal yang terasa rumit dan kompleks dalam upaya memperbaiki diri. Sebaliknya, kita lebih suka kepada hal-hal yang sederhana yang tidak memberatkan pikiran dan mudah dilakukan.
Otak dan Emosi
Penjahat-penjahat kelas berat, yang oleh ahli neurobiologi kejahatan Robert Hare disebut psikopati, ternyata memiliki kelainan yang bersifat neurobiologis. Para peneliti mengemukakan adanya kelainan pada bagian otak bernama cortex orbitofrontal dan amygdala yang berfungsi mengatur sifat impulsif dan agresif. Dalam pemeriksaan zat kimia otak pada mereka ditemukan adanya kadar serotonin dan monoamin oksidase yang tidak normal. Karena itu, pemberian serotonin (misalnya, obat fenfluramine) yang disertai psikoterapi secara intensif dapat mengurangi perilaku agresif seseorang.
Otak manusia, tidak seperti otak binatang, disusun secara fungsional oleh dua bagian: bagian yang berurusan dengan kegiatan emosional (dilakukan oleh sistem limbik, terutama amygdala) dan yang berurusan dengan kegiatan rasional (dilakukan oleh kulit otak. Kulit otak ini juga dimiliki oleh beberapa binatang, tetapi dengan kualitas yang kurang baik). Karena itu, tahap awal perubahan diri bukanlah pada pembangkitan sentimen emosional, tetapi pada pengenalan cara berpikir, cara kita memersepsi persoalan.
Penjelasan ilmiah soal penularan pikiran dan perasaan merupakan penemuan paling baru dan spektakuler di kalangan ilmuwan saraf (neurosaintis). Apa yang Anda rasakan bisa menular ke saya karena adanya limbic loop yang terbuka. Kondisi pikiran dan perasan bisa mempengaruhi orang lain disekitar Anda.
Otak dan Seks
Otak terdiri dari tiga bagian besar: otak depan (forebrain), otak tengah (midbrain), dan otak belakang (hindbrain). Otak depan dan sebagian besar otak tengah merupakan area pembentukan kepribadian manusia. Emosi, kognisi, dan perilaku manusia diatur oleh bagian ini. Sistem limbik yang antara lain disusun oleh sub-sub sistem amygdala, hypothalamus, sebagian kecil cortex cerebri dan hippocampus adalah sistem yang paling berperan dalam mengurus hal-hal yang bersifat seksualitas dan spiritualitas. Jalur saraf seksualitas dan spiritualitas sangat mungkin merupakan jalur yang sama.[14]
Menurut Taufiq Pasiak, kalau ada yang bertanya seberapa nikmat seorang pencinta Tuhan (mistikus) berhubungan dengan Tuhannya, maka katakan saja kenikmatannya melebihi kenikmatan ejakulasi atau orgasme, ketika kita berhubungan seks dengan pasangan yang sah.Paling tidak, ada tiga komponen penting yang menentukan berhasil tidaknya sebuah perkawinan: motivasi (untuk apa menikah), finansial dan etika. Kalau boleh diumpamakan sebagai sebuah segitiga sama sisi, maka motivasi merupakan basis dari segitiga itu, sementara sisi kiri-kanannya dibentuk oleh finansial dan etika.[15]
Termasuk dalam etika rumah tangga adalah soal hubungan seks rutin. Seks itu dilakukan tidak karena terpaksa, tetapi karena berahi cinta yang kuat. Seks bukan soal puas-memuaskan, tetapi beri-memberi. Ketika Anda siap digauli, itu artinya Anda telah siap memberikan cinta, bukan kepuasan.
Otak, Musik dan Gerak
Musik dipercaya sebagai salah satu sarana mendidik orang, terutama mengajarkan kelembutan dan cinta. Alunan musik yang mengalun memberi nuansa pada jiwa yang mampu membawa perubahan. Orang awam menyebutnya rasa seni (sense of art). Musik tertentu bahkan menjadi sarana penyembuhan diri yang sangat baik. Beberapa penelitian menemukan bahwa musik tertentu dapat memperbaiki kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, dan menyuguhkan keriangan hati sepanjang hari.[16]
Pengaruh musik terhadap tubuh yaitu meningkatkan energi otot, meningkatkan energi molekul, memengaruhi denyut jantung, memengaruhi metabolisme, meredakan nyeri dan stres, mempercepat penyembuhan pada pasien pasca operasi, meredakan kelelahan, membantu melepaskan emosi yang tidak nyaman dan menstimulasi kreativitas, sensitivitas dan berpikir.[17]
Para peneliti menyimpulkan untuk manusia: makin sering bergerak, makin kaya lingkungan tempat tinggal, makin baik otak kita. Sebaliknya, makin sering menggunakan alkohol, makin mengurangi kemampuan motorik dan kekuatan menjaga keseimbangan tubuh. Otak dan otot saling berhubungan erat. Termasuk fakta penelitian bahwa makin sering kita bergerak (dengan olah tubuh), makin baik daya ingat dan kewaspadaan kita.
Latihan fisik (olah tubuh) memengaruhi otak melalui tiga cara: meningkatkan aliran darah ke otak sehingga otak mendapat tambahan darah yang sedikit lebih banyak, meningkatkan produksi sejenis hormon bernama NGF (Nerve Growth Factor) –yang dapat meningkatkan fungsi otak melalui rangsangan perkembangan sel-sel saraf- serta meningkatkan produksi zat penghantar pesan di otak bernama dopamine. Men sano in corpore sano (pikiran yang sehat berada pada tubuh yang sehat).
________________
[1] Taufiq Pasiak, Brain Management for Self Improvement, Hal. 22-23
[2] Ibid, Hal. 23-25.
[3] Malcolm Gladwell. Blink. The Power of Thinking Without Thinking. Penguin Book, 2005;8.
[4] Op.cit. Hal. 55-56.
[5] Ibid. Hal. 70.
[6] Ibid. Hal. 73.
[7] Ibid. Hal. 76-79.
[8] Ibid. Hal. 86-87.
[9] Ibid. Hal. 89-90.
[10] Ibid. Hal. 91.
[11] Lawrence Paul. Nitin Nohria. DRIVEN: How Human Nature Shapes Our Choices. John Wiley & Sons, Inc., 2002: 168.
[12] Op.cit. Hal. 98.
[13] Ibid. Hal. 101.
[14] Ibid. Hal. 206.
[15] Ibid. Hal. 223.
[16] Ibid. Hal. 235.
[17] Eric Jensen, 1995: 245.

0 Komentar