Teach Like Finland

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan bernegara. Pendidikan merupakan amanat konstitusi, baik dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai jiwa konstitusi, maupun dalam Pasal 31 sebagai raga konstitusi. Bahwa penyelanggaraan pendikan adalah kewajiban pemerintah. Bahkan seperlima dari total anggaran negara dan daerah diperuntukkan bagi pendidikan. Namun, pendidikan yang semestinya menjadi solusi atas masalah, mengapa justru menjadi masalah tersendiri?

Selain minimnya keteladanan aktor pendidik, kegagalan memahami orientasi pendidikan (karakter yang beradab) merupakan faktor lain yang menyebabkan buruknya pendidikan kita. Sarjana yang kontra produktif, dan buruknya infrastrukur pendidikan, melengkapi kelemahan pendidikan kita. Pendikan kita betul-betul tercerabut dari akar sosial kebudayaan. Padahal pendidikan bagian dari keluhuran suatu kebudayaan. Untuk itu, diperlukan kohesivitas pendidikan terhadap kebudayaan (budi pekerti yang baik). 

Teach Like Finland 

Berdasarkan ranking Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Finlandia merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. PISA merupakan survei tiga tahunan yang menguji kemampuan siswa berusia 15 tahun untuk tiga bidang, yakni membaca, matematika, dan sains. Survei ini diinisiasi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)

Indonesia sendiri berada pada peringkat 62 di bidang sains, 63 di bidang matematika, dan 64 untuk membaca. Ada beberapa fakta yang dapat kita pelajari dari sistem pendidikan Findandia; Pertama, anak-anak Finlandia bersekolah saat usia 7 tahun. Berbeda dengan kita yang menjejali anak-anak dengan pendidikan mulai dari usia dini dengan beragam pelajaran, pekerjaan rumah, dan beban lainnya. 

Kedua, durasi belajar di Finlandia hanya 45 menit, kemudian istirahat 15 menit. Selain itu, setiap harinya mereka hanya belajar 4-5 jam di sekolah. Berbeda dengan kita yang memforsis dari pagi hingga siang, kemudian dilanjutkan kursus pada sore hari, dan menyelesaikan pekerjaan rumah pada malam hari. Ketiga, semua sekolah negeri ditanggung oleh Negara alias tidak dipungut biaya. Sekolah swastapun diatur secara tegas agar tetap terjangkau. Berbeda dengan kita, untuk bersekolah kita harus miskin dulu. Sehingga Eko Prasetyo menulis buku yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah. 

Keempat, setiap guru dibiayai oleh Pemerintah untuk meraih gelar master. Tunjangan guru pun merupakan salah satu yang tertinggi diantara pelbagai profesi di Finlandia. Berbeda dengan kita, di mana kebutuhan hidup tenaga pendidik masih banyak yang tergolong pra sejahtera dan menunggak cicilan di sana-sini. Wajar, jika Ahmad Dahlan, guru bangsa yang merupakan pendiri Muhammadiyah, harus menjual perabotan rumahnya untuk membiayai sekolah yang didirikannya. 

Kelima, karena guru merupakan profesi yang mapan dan dijabat oleh kualifikasi master, maka para guru tentunya mampu mengevaluasi peserta didiknya. Sehingga tidak diperlukan lagi ujian nasional sebagai evaluasi tahunan. Berbeda dengan kita, ujian nasional menjadi momok yang menakutkan yang membuat stres beberapa peserta didik, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara agar dapat lulus ujian nasional. 

Guru yang paham keragaman dan tipologi kecerdasan peserta didiknya tidak memerlukan lagi peringkat-peringkat kelas. Karena pada dasarnya, setiap peserta didik merupakan peringkat pertama pada minat kecerdasannya masing-masing. Tugas gurulah untuk membantu peserta didiknya dalam menemukan minat kecerdasannya dan mengoptimalisasi kecerdasan tersebut. Berbeda dengan kita, di mana peringkat kelas dipajang dan dipamerkan, serta memaksakan peserta didik untuk bersaing pada satu tipe kecerdasan yang sama.

Pendidikan Berbasis Pancasila

Dari urain di atas, rekomendasi penulis; Pertama, mengembangkan pendidikan karakter yang kohesif dengan kebudayaan kita sendiri yang telah diamalkan di Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, dan di Pesantren oleh para Kiai. Kedua, mencontoh keberhasilan Finlandia dalam menerapkan sistem pendidikan memanusiakan dan berkeadilan. Ketiga, meninggkatkan kualitas peserta didik dan kuantitas partisipasi pendidikan melalui pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan. Keempat, menyelanggarakan pendidikan yang religius dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagai antitesa sistem pendidikan barat yang sekular dan kapitalis.

Intisari pendidikan nasional sebenarnya bergantung pada Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Olehnya itu, pendidikan nasional haruslah menjadikan manusia-manusia Indonesia sebagai peserta didik yang religius, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Posting Komentar

0 Komentar