Dengan mengambil subjudul aspek feminin dalam spiritualitas Islam, buku yang ditulis oleh Annemarie Schimmel ini menambah pengabdiannya kepada studi mengenai Islam. Beliau merupakan seorang professor dari Jerman yang telah menghabiskan setengah abad untuk memahami dunia Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang mengatur secara detail seluruh lini kehidupan manusia dengan berlandaskan akan kitab-Nya yang satu, yaitu Al-Qur’an. Namun, yang membuatnya berbeda adalah pemahaman manusia yang sifatnya terbatas untus memahami sesuatu yang tidak terbatas ini. Maka dari itu, Schimmel tergerak untuk meneliti ciri Islam yang banyak disalahpahami, yaitu peran wanita.
Jika
diperhatikan secara saksama, buku ini tidak serta merta hanya ditujukan untuk
menjelaskan tentang peranan wanita kepada pembaca, namun juga ditujukan kepada
para feminis Barat yang telah menanamkan sterotipe
negatif kepada wanita Islam, dan memandang Islam sebagai agama yang murni
berorientasi pada pria, dengan cara merekontruksi sebuah bab penting tentang spiritiualitas
Islam yang penting, namun sedikit diketahui. Contohnya adalah tentang copius, dia menunjukkan kesetaraan yang
jelas antara wanita dan pria dalam konsepsi Nabi Muhammad Saw, Al-Qur’an,
bahasa feminine dari tradisi mistik, dan peran ibu-ibu suci dan wanita yang
belum menikah sebagai manifestasi Tuhan.
Sterotipe negatif terhadap perempuan di
dalam Islam tidak lepas dari kisah Hawa as. yang digambarkan sebagai penggoda
dan menjadi penyebab Nabi Adam as. dikeluarkan dari dalam surga. Hal inilah
yang kemudian menjadikan pandangan terhadap perempuan sebagai hal yang pincang
sebagai makhluk. Padahal Islam tidak mengenal adanya konspesi dosa asal yang
diturunkan melalui gender biologis.
Hawa as. hanyalah salah satu perempuan tanpa nama yang
dikemukakan oleh Al-Qur’an, hanya satu nama yang sangat jelas tertera di dalam
kitab Islam, yaitu Mary, atau Maryam, seorang perawan yang merupakan ibu Nabi Isa
as., sekaligus menjadi perempuan kesayangan umat muslim dan seluruh ahli mistik
di seluruh dunia. Surah Maryam (19: 25) menceritakan bagaimana, di tengah rasa
sakit menjelang melahirkan, dia berpegang erat pada sebatang pohon kurma kering,
yang dengan segera menghujaninya dengan buah kurma yang manis.
Selain itu,
di dalam karya Schimmel ini seringkali kali disinggung tentang kisah Zulaikha
dan Nabi Yusuf as., di mana dalam kisah ini Zulaikha menanggung berbagai
penderitaan untuk menyatu bersama kekasihnya itu. Schimmel mengemukakan
berbagai syair untuk menggambarkan perjuangan Zulaikha. Kisah inipun sekaligus
sebagai perwakilan untuk melambangkan simbol nafs, dan tak perlu diragukan lagi, bahwa nafs ini disucikan oleh cinta tanpa batas dan kesedihan tak terkira
yang diakibatkan olehnya, hingga akhirnya ia disatukan dengan Nabi Yusuf as. Di
ujung jalan, wanita penuh kasih yang tak kenal lelah dalam pencariannya dan
yang luar biasa penderitaanya itu, menemukan keindahan tiada tara yang
dicari-carinya dalam diri Nabi Yusuf as.
Dilihat dari
sudut pandang ini, kisah Nabi Yusuf as. dan Zulaikha merupakan kisah tentang
jiwa yang sangat merindukan sumber segala keindahan, merindukan Tuhan. Dan para
pencari itu (pria maupun wanita), dianggap identik dengan Zulaikha. Namun dalam
buku ini, untuk menggambarkan pencari kesempurnaan tidak hanya digambarkan
melalui sosok Zulaikha. Semakin habis setiap lembaran yang dibaca, akan semakin
banyak kita temukan sosok-sosok perempuan yang dipersonafikasikan sebagai pencari
kebahagiaan yang abadi.
Dari
kisah-kisah tersebut, Schimmel ingin menyampaikan bahwa unsur feminin bukan
merupakan hal yang rendah, karena dia selalu memainkan peran sebagai pihak yang
merindu dan gigih mencari sumber
kebahagiannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh manusia yang agung dan
terpilih, baik laki-laki maupun perempuan, posisi tertingginya ialah ketika ia
menjadi seorang perindu akan kesempurnaan, yang identik dengan unsur feminin.
Tidak cukup sampai di situ saja, penjelasan akan penghargaan
terhadap unsur feminin ini, juga menggunakan pendekatan semesta. Bahwasannya,
kehidupan ini tidak akan mungkin eksis tanpa adanya polaritas antara pria dan
wanita (yang dan yin). Sebagai contoh kecil dari buku ini, beliau menggambarkannya
dengan hujan dan bumi, di mana hujan berperan sebagai yang, dan yin sebagai
bumi. Ketika mereka menyatu akan menghasilkan sesuatu yang baru untuk
mengembangkan kehidupan selanjutnya, misalnya pohon, bunga dan lain sebagainya
yang berpijak dibumi. Bahkan Schimmel tidak segan-segan mengemukakan bahwa
unsur feminin ini pun dimiliki oleh Tuhan, yaitu sebagai Maha Pengasih dan Maha
Penyayang.
Maka dari
itu, untuk melihat peranan wanita, bagi Schimmel tidak cukup hanya melihat
dari satu atau dua sisi saja, karena akan semakin banyak penderitaan yang
ditanggung oleh perempuan akibat ajaran-ajaran Al-Qur’an yang sederhana, namun
ditafsirkan semakin sempit, sejalan dengan berlalunya waktu. Lagi pula,
adat-istiadat dan sikap-sikap yang sesungguhnya tidak berlandaskan Al-Qur’an
telah menjadi semakin kaku. Bahkan parahnya, kekakuan ini dianggap menjadi
sesuatu yang resmi.
Bagaimanapun
juga, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dari segi eksistensial, yang
lebih dominan adalah kehidupan spiritual. Pembedanya hanyalah derajat
ketaqwaan, kata Al-Qur’an. Seperti yang dikatakan oleh Jami mengenai Rabi’ah;
Jika
semua wanita seperti yang telah kita sebutkan itu.
Maka
kaum wanita akan lebih disukai daripada kaum pria
Sebab
gender feminin bukanlah aib bagi matahari,
Dan
gender pun bukan merupakan kehormatan bagi bulan.

0 Komentar