Hakikat dan Rahasia Shalat

Salah satu kaidah logika menyatakan bahwa segala sesuatu yang tak membakar bukanlah api. Itu berarti esensi api adalah membakar. Dalam surah Al-Ankabut Ayat 45 disebutkan bahwa sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Maka, jika dikontekstualisasikan ke dalam kaidah logika tadi, sesuatu yang tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar bukanlah termasuk shalat. Itu berarti esensi shalat adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (pemuliaan akhlak).

Shalat sama seperti ibadah lainnya yang bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa makhluk itu teramat hina dan hanya Tuhanlah yang memiliki kemuliaan hakiki. Bahwa makhluk itu sangatlah rendah dan hanya Tuhanlah yang Maha Tinggi. Ibadah kita tidak memberikan maslahat atau mudharat sekecil apapun pada Tuhan. Ibadah kita demi kesempurnaan jiwa makhluk.

Tahap-Tahap Suluk

Pesuluk atau penempuh jalan Ketuhanan terdapat 4 tahap. Pertama adalah tahap keilmuan. Tahap ini manusia akan terhijab oleh ilmu pengetahuan yang ia miliki. Ia menjadi pongah dan memiliki banyak alasan dan argumentasi untuk tetap pada posisi keakuannya hingga abai terhadap kesadaran akan kehinaan makhluk dan kemuliaan Tuhan. Di lain kesempatan, kita akan membahas 3 tahap lainnya yang berturut-turut tahap keyakinan, tahap ketentraman dan tahap penyaksian akan kemuliaan Tuhan.

Khusyuk

Khusyuk adalah kesadaran total akan kesempurnaan Tuhan dan keterbatasan makhluk. Ibadah, khususnya shalat yang dilakukan tanpa kekhusyukan akan mengurangi nilai ibadah tersebut. Shalat yang tanpa khusyuk bagaikan senam. Yang diperoleh hanyalah pahala gerak formal, tanpa pahala dari ruh shalat tersebut. Seseorang yang tidak khusyuk diakibatkan oleh kurangnya kadar keimanan orang tersebut. Keimanan merupakan puncak dari pengetahuan. 

Terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan, keyakinan dan keimanan. Pengetahuan adalah hadirnya suatu konsep di dalam akal. Keyakinan adalah pengetahuan yang sudah dinilai benar salahnya. Sampai di sini, manusia tidak ada bedanya dengan iblis yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Pencipta dan Penentu Hari Akhir. Yang membedakan bangunan pengetahuan manusia dengan iblis adalah tindak lanjut dari pengetahuannya tersebut. Iblis hanya sekadar yakin atas pengetahuannya, tanpa mengimani pengetahuan tersebut. Hal ini terbukti dari penolakan iblis untuk menyembah Adam as yang merupakan perintah Tuhan. 

Keimanan adalah pengetahuan yang diyakini dalam hati dan akal, diucapkan oleh lisan, dan dilakukan dalam perbuatan. Singkatnya keimanan adalah tindak lanjut akan keyakinan makhluk atas kemahakuasaan Tuhan. Nah, meningkatnya kadar keimanan seseorang otomatis meningkatkan kekhusyukannya dalam melakukan ibadah termasuk shalat. Pengetahuan menjadi tahap pertama, keyakinan menjadi tahap kedua, dan keimanan menjadi tahap ketiga. Ketahuilah, yakinilah dan imanilah bahwa tiada yang lebih Berkuasa dan Terpuji kecuali Tuhan.

Tumakninah

Definisi dari tumakninah adalah rukun ibadah yang dilakukan demi keheningan hati dan ketenangan pikiran. Tumakninah bukanlah sekadar ketenangan fisik dengan memperlambat gerakan shalat, melainkan ketenangan batin. Dan, ketenangan batin hanya dapat diperoleh hanya dengan memuliakan Tuhan yang Maha Mulia serta manusia-manusia mulia seperti Rasul, Nabi dan Imam di dalam batinnya. Seseorang yang batinnya dipenuhi oleh keakuan, egoisme, dan hal-hal yang bersifat dunia dan materi, tidak akan bisa melakukan tumakninah.

Menolak Gangguan Setan

Setan atau iblis ditugaskan untuk mengganggu kekhusyukan manusia dan merayunya untuk berbuat maksiat. Sama halnya dengan makanan untuk tubuh, jiwa juga memiliki makanan tersendiri. Makanan bagi jiwa adalah ajaran-ajaran Ilahi dan ibadah kepada Tuhan. Makanan jiwa tersebut akan terjamin kandungannya jika dihidangkan oleh manusia yang ahli, dalam hal ini manusia suci seperti Rasul, Nabi dan Imam. 

Penting bagi penyantap (Pesuluk Ruhani) untuk memastikan kandungan makanannya tidak dicampuri oleh racun oleh penghidang seperti Iblis. Selain meneliti dengan baik dan benar makanan jiwa tersebut, penting pula bermunajat pada Pemilik Segala Sesuatu dan Pelindung Segala makhluk, yaitu Tuhan, agar makanan jiwa tersebut dilindungi dan tidak dicemari oleh setan.

Riang dalam Beribadah

Dalam Al-Qur'an surah at-Taubah ayat 54 Allah Swt berfirman; "Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan bermalas-malasan dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka kecuali dengan rasa enggan." Terdapat beberapa orang yang melakukan Shalat dengan bermalasan-malasan. Ia seperti terpaksa dalam beribadah. Dampak terburuknya adalah ia jadi merasa terbebani dan membenci shalat tersebut. Darinya itu, penting bagi kita untuk bersikap riang dalam melakukan ibadah, termasuk shalat. Sebagaimana dengan kegiatan lainnya seperti makan, olahraga, nonton film, dan segala kegiatan yang dilakukan dengan riang akan memberikan dampak yang lebih membahagiakan jiwa, dibandingkan dengan melakukan kegiatan secara bermalas-malasan. Untuk itu, rianglah dalam melakukan shalat agar kebahagiaan jiwa meningkat dan kita menjadi rindu untuk shalat lagi.

Akumulasi Kebiasaan

Laksana seorang bayi, Pesuluk Ruhani yang baru harus memulai jalannya dengan bertahap pula. Ia harus melakukan indoktrinasi pada dirinya bahwa tujuan repitisi atau pengulangan dalam dzikir dan shalat agar hati terbiasa dan hanya dipenuhi dengan Asma Allah. Langkah pertama memang selalu sulit, namun seiring dengan berjalannya waktu, pesuluk tersebut akan terbiasa. Dari pikiran akan menjadi perkataan. Dari perkataan akan menjadi tindakan. Akumulasi tindakan akan melahirkan kebiasaan dan menguat menjadi suatu karakter tertentu. Biasakanlah berpikir, berkata dan bertindak sesuai dengan ibadah yang diperintahkan Tuhan agar terbentuk karakter hamba yang diridhai Allah Swt. Pembiasaan di sini dimaksudkan untuk membangun karakter, selama pembiasan tersebut dijiwai. Bukan sekadar pembiasan tanpa kesadaran apapun.

Menghadirkan Akal

Salah satu adab yang paling utama dalam shalat adalah menghadirkan akal, baik itu akal murni berupa rasio, maupun akal jatuh berupa hati atau kalbu. Adapun tujuannya adalah agar shalat terhindar dari campur tangan setan yang berusaha menggoda manusia agar ibadah yang dilakukan tidak khusyuk dan ikhlas lagi. Maka, hadirkanlah akal saat shalat sebagai kendali pikiran yang mengalihkan pikiran dunia menuju kekhusyukan kepada Allah Swt.

Rasulullaw Saw. bersabda; shalat adalah tiang agama. Jika shalatmu tidak diterima, maka gugurlah seluruh ibadah yang lain. Diterimanya shalat menjadi kunci diterimanya seluruh ibadah yang lain. Sementara shalat yang diterima adalah shalat yang dilakukan dengan hadirnya akal. Karena dengan hadirnya akal, mushalli tersebut akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Kehadiran akal begitu penting dalam setiap ibadah, termasuk shalat. Dengan kehadiran akal, kita menyadari sepenuhnya bahwa ibadah ini hanya untuk Allah Swt (Ikhlas), bukan untuk keperluan duniawi. Dengan kehadiran akal, kita menyadari sepenuhnya bahwa diri kita ini sangat rendah di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi. Dengan kehadiran akal, jiwa akan menjadi tenang.

Sebaliknya, tanpa kehadiran akal, shalat kita kemudian hanya memikirkan hal-hal duniawi. Tanpa kehadiran akal, kita akan merasa bangga diri (ujub) dengan shalat kita. Dan tanpa kehadiran akal, kita shalat dengan sangat tergesa-gesa dan berdiri dengan malas. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad Saw; “seburuk-buruk pencuri adalah ia yang mencuri dalam shalatnya. Yaitu mereka yang shalat dengan terburu-buru, seperti ayam mematuk makanannya.” Apakah sebenarnya masalah yang membuat kita tidak khusyuk dalam shalat?

Liarnya Khayalan

Khayalan, dikarenakan kemampuannya terlepas dari ruang dan waktu, ia menjadi sangat bebas. Kebebasannya bisa menjadi bablas bahkan liar seperti burung yang terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain dalam rentang yang sekejap. Ketika kita shalat, yang terkhayalkan justru kekasih yang nun jauh di sana. Yang terkhayalkan justru utang yang belum terbayarkan. Yang terkhayalkan justru makanan yang akan dilahap. Yang terkhayalkan justru urusan yang belum selesai. Semua yang dikhayalkan hanyalah hal-hal yang bersifat duniawi.

Solusi dari liarnya khayal adalah dengan mengendalikannya melalui kontrol akal sepenuhnya. Sama seperti burung yang tak lagi liar ketika dimasukkan dalam sangkar, khayal juga akan berhenti keliarannya jika disangkarkan oleh akal. Sangkar akal berisikan perintah untuk memfokuskan ibadah hanya untuk Allah Swt. dan melarang peruntukan ibadah kepada sesuatu selain Allah Swt. Awalnya pasti sulit, tetapi kita dibiasakan akan menjadi mudah dan kemudian terbentuk menjadi sebuah karakter.

Cinta terhadap Dunia

Sebenarnya akar dari segala permasalahan manusia, termasuk ibadah manusia, adalah cinta terhadap dunia. Jika kita cinta terhadap sesuatu, kita akan memfokuskan diri untuk sesuatu tersebut. Apapun yang menghalangi kita, atau apapun yang kita kerjakan pasti fokus kita hanya kepada sesuatu yang kita cintai tersebut. Makanya jangan heran, jika shalat kita tidak khusyuk pada Allah Swt, itu dikarenakan kita masih cinta terhadap dunia. Kita masih memikirkan kekasih, anak, bisnis, jabatan, harta, dan apapun yang berbau dunia.

Solusinya tentu saja dengan menyadari bahwa yang patut kita cintai adalah yang menciptakan segala sesuatu. Yang juga menciptakan dunia, menciptakan kita, Pencipta segala sesuatu yaitu Allah Swt. Ketika sedetik saja kita memikirkan dunia dalam ibadah kita, segeralah dengan kendali akal kita menyadarkan bahwa dunia itu adalah ciptaan Allah Swt, maka kita harus kembali fokus pada Allah Swt.

Mengejar dunia, kata Imam Ja’far As-Shadiq as., tak ubahnya meminum air laut ketika haus, semakin diminum, semakin membuat kita haus, kemudian itulah yang membunuh kita. Segala sesuatu, termasuk dunia adalah perwujudan Dzat Allah Swt. Maka sadarilah, bahwa apa yang ada di depan, di belakang, di samping, di dalam tangkapan inderamu, di khayalmu, di hatimu, dan di akalmu, segalanya adalah perwujudan Allah Swt. Kemanapun kau palingkan wajahmu, di situlah Wajah-Wajah Allah Swt (QS. Al Baqarah: 115). Dengan begitu, akal kita sadar bahwa segala sesuatu adalah Allah Swt dan hanya untuk Allah Swt.

Adab-Adab Thaharah dan Wudhu

Menurut Imam Khumaini, ada tiga macam jenis thaharah, yaitu thaharah fisik, thaharah khayali, dan thahari akal atau kalbu. Selain menyucikan fisik, kita juga harus menyucikan khayal dan kalbu. Jika fisik kita belum suci, maka khayal dan kalbupun demikian. Adapun alat bersuci ialah air dan tanah, karena keduanya memiliki esensi membersihkan dan menyucikan, baik dari perspektif biomedis, maupun dari perspektif metafisika. Bersuci, baik itu wudhu, tayammun, maupun mandi junub diwajibkan karena kita akan menghadap kepada Allah yang Maha Suci (Imam Khomaini, Hakikat dan Rahasia Shalat. Penerbit Misbah, Jakarta. 2004, hal 121).

Adab-Adab Berpakaian dalam Shalat

Sama seperti bersuci, pakaian juga memiliki beberapa tingkatan. Tubuh duniawi merupakan pakaian bagi kalbu. Kalbu duniawi merupakan pakaian bagi tubuh barzakhi. Tubuh barzakhi merupakan pakaian bagi kalbu barzakhi. Kalbu barzakhi merupakan pakaian bagi tubuh ukhrawi. Tubuh ukhrawi merupakan pakaian bagi kalbu ukhrawi. Dan kalbu ukhrawi yang akan kembali kepada Allah Swt. Dalam Islam, berpakaian bermewahan (berlebihan) merupakan perilaku dzalim. Berpakaian busuk (berkekurangan) juga merupakan perilaku dzalim. Gunakakanlah pakian yang sederhana dan bersih. "Dan pakaian ketakwaan itulah sebaik-baiknya pakaian" (QS. al-A'raf: 26).

Adab-Adab Kalbu pada Waktu Shalat

Adab waktu shalat adalah shalat tepat pada waktunya, kecuali ada hal syari'i sehingga kita menundanya. Adapun adab-adab kalbu pada waktu shalat adalah memalingkan semua perhatian kecuali hanya kepada Allah Swt. Bagaimana bisa kita tidak  bergetar dan fokus saat shalat, sementara kita sementara berhadapan dengan Pencipta Segala Sesuatu, Allah Swt.

Adab-Adab Istiqbal (Menghadap Kiblat)

Menghadap kiblat bukan hanya sekadar posisi tubuh kita, melainkan pula khayal dan kalbu kita menghadap kepada Ka'bah, personifikasi rumah Tuhan di muka bumi, salah satu tempat tersuci di dunia. Kiblat melambangkan persatuan umat muslim dan pengingat bagi pentingnya meluruskan tubuh, khayal, dan kalbu hanya kepada Allah Swt (Imam Khomaini, Ibid, hal 160).

Posting Komentar

0 Komentar