21 Lessons

Buku 21 Lessons; 21 Adab untuk Abad 21 merupakan karya ketiga Yual Noah Harari, setelah sukses menggemparkan dunia dengan mahakarya Sapiens dan Homo Deus-nya. Jika dalam Sapiens Yuval membahas sejarah ringkas umat manusia sejak zama batu hingga prakiraan kepunahannya, dan dalam Homo Deus membahas masa depan umat manusia, maka dalam 21 Lessons Yuval berbicara mengenai dunia yang kita tinggali saat ini dan di sini. 21 adab atau lebih tepatnya gagasan, karena adab adalah tindakan yang baik dan benar di saat yang baik dan benar, tersebar ke dalam 5 bagian buku yang berjumlah 392 halaman.

BAGIAN I: TANTANGAN TEKNOLOGI

Umat manusia kehilangan keyakinan pada kisah liberal yang mendominasi politik global dalam beberapa dekade terakhir, tepatnya ketika penggabungan biotek dan infotek menghadapkan kita dengan tantangan terbesar yang pernah dihadapi manusia.[1]

1. Kekecewaan

Akhir sejarah nampaknya tertunda, tidak seperti yang digambarkan oleh Francis Fukuyama dalam tesisnya The End of History and The Last Man in The World, yang menempatkan kapitalisme liberal sebagai the one and the only game in the town dalam upayanya untuk mengatur berjalannya dunia. Betapa tidak, dari membunuh nyamuk (malaria) hingga membunuh pikiran (tantangan kecerdasan artifisial) masih menjadi problem yang belum terselesaikan. Tidak ada lagi mukjizat liberal yang menawarkan paket liberal seperti hak asasi manusia, pasar bebas, demokrasi, sebagai solusi dari semua permasalahan global.[2]

2. Pekerjaan

Ketika anda tumbuh dewasa, anda mungkin tidak memiliki pekerjaan. Hal itu disebabkan karena kecerdasan artifisial dan mesin akan banyak menggantikan, bukan hanya pekerjaan fisik, melainkan pula pekerjaan kognitif manusia. Siapa yang bisa memastikan bahwa pada tahun 2050, pengacara, pengajar, dokter, dan lainnya masih relevan dengan perkembangan biotek dan infotek? Bahkan pekerja seni, seperti seniman mozart hingga film. akan terdisrupsi oleh algoritma cerdas. Namun, adakah pekerjaan baru sebagai ganti hilangnya pekerjaan lama? Mesin dan manusia akan bekerjasama hanya jika manusia tetap mampu mengendalikan mesin, bukan sebaliknya. Karena pada zaman informasi ini, irelevansi (berhenti belajar karena berhenti sekolah) lebih berbahaya dari sekadar eksploitasi yang menjadi ciri revolusi industri.[3]

3. Kebebasan

Dalam ranah kebebasan, Big Data terus-terusan mengawasi kita. Jika liberalisme dalam politik, ekonomi, hingga pernikahan mengandalkan kebebasan individu dalam menentukan yang terbaik bagi dirinya, kini manusia menyerahkan otoritas memilihnya kepada algoritma, mulai dari aplikasi, media sosial, hingga komputer cerdas seperti dalam film Her.

Drama pengambilan keputusan kini bergantung pada algoritma yang ditampung dalam big data. Misalnya dalam memilih mobil, dengan intensitas jumlah kecelakaan yang jauh lebih rendah mobil otonom tanpa pengemudi daripada mobil yang dikemudikan manusia, apakah kita masih mengandalkan diri sendiri? Apalagi mobil tersebut dapat bertindak sangat filosofis seperti Kant dan sangat cerdas seperti Tesla dengan membanting setirnya sendiri ketika berpapasan dengan anak kecil di jalanan. Jika anda mau melakukan sebaliknya, silahkan atur algoritma mobilnya.

Kita takut pada kediktatoran digital seperti dalam film sains ilmiah yang menceritakan pemberontakan robot atas manusia. Padahal, robot tetaplah menjadi robot selama manusia dapat mengendalikan mereka, kecuali segelintir elit manusia menghendaki sebaliknya.[4] Kecerdasan artifisial hanya dapat memperbudak manusia jika kebodohan natural manusia dimaanfaatkan oleh segelentir elit korporasi digital.

4. Kesetaraan

Pertanyaannya kemudiaan adalah, masihkah ada kesetaraan saat diktator digital memainkan misinya? Karena, mereka yang memiliki data adalah mereka yang memiliki masa depan. Lalu, siapa yang memiliki data? Jika dulu tanah dan pabrik adalah aset, kini data menjadi penentu kelas sosial. Dan perusahaan seperti Facebook, Google, Amazon, Microsoft, Apple telah beberapa langkah dalam memulai misi tersebut. Konsentrasi aset pada segelintir elit akan menciptakan kelas sosial, bahkan spesies super yang berbeda.[5]

BAGIAN II; TANTANGAN POLITIK

Penggabungan infotek dan biotek mengancam inti nilai-nilai modern: kebebasan dan kesetaraan. Setiap solusi untuk tantangan teknologi harus melibatkan kerja sama global. Tetapi nasionalisme, agama, dan budaya membagi manusia ke dalam kamp-kamp yang saling bermusuhan dan membuatnya sangat sulit untuk bekerja sama di tingkat global.[6]

5. Komunitas

Janji Zuckerberg untuk menyatukan komunitas manusia melalui Facebook (dunia daring) menjadi tantangan tersendiri, mengingat manusia memiliki tubuh dalam dunia luring. Raksasa bisnis global cenderung melihat manusia sebagai hewan audiovisual – sepasang mata dan telinga yang terhubung ke sepuluh jari, layar dan kartu kredit. Langkah penting untuk menyatukan umat manusia adalah menghargai bahwa manusia memiliki tubuh.[7]

6. Peradaban

Hanya ada satu peradaban di dunia, adalah ilusi dari setiap manusia rasis. Fasisme Italia, maupun Nazi Jerman, hingga kaum Yahudi mengklaim bahwa ras mereka adalah yang paling unggul. Yang membuat manusia berbeda dengan hewan dan mampu menciptakan peradaban adalah kemampuan manusia untuk bekerja sama secara fleksibel yang didasari oleh kepercayaan fiksi bersama, apakah itu bangsa, agama, ideologi, atau perusahaan yang memberikan anda uang. Padahal, ia percaya korporasi karena satu dolar tersebut dapat digunakan untuk memerintah mereka semua[8], termasuk ISIS dengan ilusi negara islamnya.

7. Nasionalisme

Terdapat 3 masalah global yang perlu kita renungkan bersama; tantangan nuklir yang bagaikan parade milter negara-negara yang akan memicu perang dunia ketiga (dan mungkin perang dunia terakhir untuk menyambut kiamat), tantangan ekologis yang mencarikan es di kutub, mencemari udara, merusak iklim, dan menaikkan air laut, dan mengeringkan tanah, serta tantangan disrupsi teknologi yang menguntungkan segelintir elit korporasi digital dan menyengsarakan banyak masyarakat yang tidak berguna, mengalami kebodohan natural, dan pengangguran. Masalah global membutuhkan jawaban global. [9] Dan agama bisa menjadi salah satu solusi yang tepat.

8. Agama

Kini Tuhan melayani bangsa. Untuk menjabarkannya, mari kita bagi terlebih dahulu ke dalam tiga jenis masalah: Agama mungkin tidak spesifik menjawab permasalahan teknis seperti bagaimana pertanian dapat subur di tengah tantangan ekologis. Agama juga mungkin tidak gamblang menjawab permasalahan kebijakan mengenai langkah apa yang diambil terkait pemanasan global di dunia bagian utara, yang tidak mempengaruhi langsung kebijakan di dunia bagian selatan. Tapi agama dapat menjawab permasalahan identitas atau moral mengenai kepedulian sosial atas penderitaan orang lain meski ia tidak sebangsa dengan kita. Nasionalisme dan bangsa harus keluar dari sekat identitas mereka untuk berbicara secara holistis, universal, dan imparsial.[10]

9. Imigrasi

Sebagian budaya mungkin lebih baik dari yang lain. Maka, menyikapi kasus imigrasi kita dapat berpegang pada ketentuan; pertama, negara tuan rumah memungkinkan imigran masuk. Kedua, sebagai imbalannya, para imigran harus merangkul setidaknya norma-norma dan nilai-nilai inti dari negara tuan rumah, bahkan jika itu berarti mengorbankan beberapa norma dan nilai tradisional mereka. Ketiga, jika imigran berasimilasi dengan tingkat yang cukup, seiring waktu mereka menjadi anggota negara tuan rumah yang sama dan penuh. “Mereka” menjadi “kita”. Rasisme mungkin surut, tapi menyisakan kulturisme sebagai gantinya.[11]

BAGIAN III: KEPUTUSASAAN DAN HARAPAN

Meskipun tantangan hari ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan meskipun perbedaan pendapat masih intens terjadi, umat manusia dapat mengatasi tantangan itu jika kita mengendalikan rasa takut kita dan bersikap sedikit lebih rendah hati tentang pandangan kita.[12]

10. Terorisme

Terorisme adalah ahli mengendalikan pikiran, maka jangan panik. Mereka adalah pemain judi yang sering merombak-rombak kartu. Mereka bagaikan koin kecul di dalam toples kosong besar, yang bersuara nyaring untuk merebut perhatian dan membangun histeria di masyarakat. Yang berbahaya jika teroris dapat mengakses senjata pemusnah massal, nuklir dan bom atom.[13]

11. Perang

Kekhawatirkan berlebihan terhadap terorisme menyebabkan kita paranoid terhadap segala hal dan melupakan hal-hal mendasar dalam kehidupan kita. Namun, menganggapnya sekadar kenakalan remaja atau kekerasan gang adalah pilihan yang bodoh. Dan jangan pernah sepelekan kebodohan manusia, karena kebodohanlah manusia melangsungkan perang antar sesama manusia berkali-kali sepanjang sejarah. Tengoklah ke Kremlin atau Gedung Putih, strategi perang hingga anggaran militer super banyak sedang siap digelentorkan. Padahal, seperti kata Sun Tzu, perang terbaik adalah kemenangan tanpa perang sama sekali. Itulah diplomasi. Dan itulah seni yang hilang dalam memenangkan perang. Perang tak ubahnya pawai kebodohan.[14]

12. Kerendahan Hati

Kebodohan lahir dari sikap tinggi hati dan merasa tahu terhadap segala hal. Faktanya, kita bukanlah pusat dunia. Mulai dari psikologi sekular hingga kita suci mengajarkan kita pentingnya etika, yaitu meleburukan ego partikular ke dalam ego universal. Dan rendah hati adalah salah satu aspeknya. Sebagai lawannya, lahirlah fanatisme, keyakinan akan kebenaran diri sendiri dan menolak kebenaran eksternal. Kebenaran bisa datang dari mana saja, apakah dari seorang fisikawan Yahudi, pakar bilogi Kristen, Ekonom Islam, atau seorang ahli sejarah yang tidak beragama sama sekali.[15]

13. Tuhan

Fanatisme tidak mendapat ruang dari masyarakat ilmiah yang menjunjung tinggi kebenaran. Maka, jangan menyebut nama Tuhan dengan sia-sia. Etika menjadi panduan masyarakat beradab. Agamapun mengajarkan etika sebagai kaidah emasnya. Tapi apakah agama dan Tuhan masih relevan jika etika kita lepaskan darinya? Bagaimana pula jika masyarakat sekular mengembangkan etika sekular yang lebih memanusiakan manusia? [16]

14. Sekularisme

Kita sebagai masyarakat yang beragama harus mengakui sisi gelap kita sembari mengakui terkadang, atau bahkan seringkali, kita berpikir, berkata, dan bertindak di luar daripada yang agama perintahkan. Tanpa kerendahan hati untuk mengakui sisi gelap tersebut, agama akan mengalami desakralisasi dan penciutan pengikut. Antara Islam kita sebagai manusia, tentu berbeda dengan Islam yang dikehendaki Tuhan. Tanpa kerendahan hati untuk mengakui kelemahan dan kedangkalan kita tersebut, maka cita-cita sekuler akan mengambil alih apa yang selama ini kaum beragama klaim, seperti kebenaran, keadilan, pengetahuan, cinta kasih, dan etika.[17]

BAGIAN IV KEBENARAN

Jika anda merasa kewalahan dan bingung terhadap kesulitan global, anda sedang berada di jalur yang benar. Proses global menjadi terlalu rumit untuk dipahami oleh satu orang. Lalu bagaimana anda bisa tahu tentang kebenaran dunia, dan menghindari menjadi korban dari propaganda dan misinformasi?[18]

15. Ketidaktahuan

Kita tidak sepintar yang kita kira. Karena yang kita tahu adalah serpihan dari semesta ilmu yang luas. Ditambah lagi upaya propaganda dan isu hoax, di mana penguasa dan pengusaha mengendalikan apa yang harus dan tidak boleh kita ketahui. Bukankah sejarah hanya milik para pemenang? Geneologi atau relasi antara kuasa dan pengetahuan tersebut kemudian menjadi fenomena yang disebut lubang hitam kekuasaan.[19]

16. Keadilan

Eksploitasi hanya menjadi ancaman dari ketidakadilan masyarakat industri, yang mana pengusaha dan penguasa mengendalikan buruh. Cendekiawan kemudian hadir untuk menegakkan keadilan. Pada masyarakat informasi, irelevansi menjadi lebih menindas dari eksploitasi. Dan bisa saja, rasa keadilan kita sudah ketinggalan zaman. Jika dulu tanah dan pabrik menjadi aset yang harus dikuasai untuk menguasai masyarakat, kini informasi atau data menjadi aset yang harus dikuasai untuk menguasai masyarakat. Lihatlah, betapa kita dengan mudahnya membagi data kita kepada korporasi digital seperti Facebook dan Google, sembari merasa panik ketika ketinggalan informasi (FOMO; Fear of Missing Out). [20]

17. Pasca-Kebenaran

Akhirnya, karena ketergantungan kita pada informasi, kita mengalami tsunami informasi yang memekakkan otak. Kita kemudian kehilangan kemampuan menangkap makna dan mengalami bias dalam menerima berita benar atau melampaui kebenaran (hoax). Beberapa berita palsu kemudian bertahan selamanya. Itulah yang diyakini Nazi Jerman oleh propaganda Hitler. Kita kemudian, telah menjadi spesies pasca-kebenaran. Menerima berita yang sesuai dengan kepentingan kita, meskipun faktanya berita tersebut berita bohong. Menghardik atau bahkan melakukan propaganda balik akan semakin menghamburkan sampah informasi. Satu-satunya jalan keluar adalah keluar dari mesin cuci otak tersebut.[21]

18. Fiksi Ilmiah

Karya seni, khususnya film, menjadi salah satu mesin cuci otak. Nyatanya, masa depan tidak seperti yang kita lihat di film. Kita bukan hanya seperti, tetapi memang hidup dalam kotak. Kita mengira, keluar dari matrix akan menemukan kehidupan yang benar. Padahal kita akan memasuki kotak propaganda yang lebih besar lagi. Selama anda masih tidak tahu dari mana anda berasal, mau kemana anda menuju, dan siapa yang memainkan semua kotak ini, anda akan tetap terjebak dalam kotak. Kita mungkin tahu, tapi kita abai, bahwa kita hidup dalam kotak.[22]

BAGIAN V DAYA TAHAN

Bagaimana kita hidup di zaman kebingungan, ketika cerita-cerita lama telah runtuh, dan tidak ada cerita baru yang muncul untuk menggantikannya?[23]

19. Pendidikan

Di zaman akselarasi dikarenakan perkembangan eksponensial ini, yang tidak cepat berubah akan mengalami irelevansi. Karena perubahan adalah satu-satunya konstanta. Kita harus terus belajar dan mengejar ketertinggalan. Apa yang kita pelajari di sekolah 10-20 tahun lalu tidak akan relevan dengan tantangan masa kini, apalagi masa depan. Kita bukan hanya harus waspada ketika perangkat teknologi kita diretas, namun kita sekarang juga harus waspada pada upaya peretasan manusia. Otak kita kini dikendalikan oleh teknologi. Tapi film sains ilmiah yang menceritakan perang kecerdasan artifisial dengan manusia di masa depan, kecil kemungkinannya untuk terjadi. Yang ada adalah segelintir kecil pengusaha digital akan meretas kita dikarenakan ketergantungan kita pada teknologi yang mereka cipta dan pasarkan.[24]

20. Makna

Salah satu jalan keluar dari mesin cuci otak di era informasi ini adalah pemaknaan terhadap hidup. Tapi bagaimana kita memaknai hidup ini? Apakah dari rangkaian cerita? Hidup bukanlah sebuah cerita. Tapi kita adalah hewan yang bercerita. Kita hanya memerlukan peran dan tujuan yang mahaluas untuk dapat ikut ambil bagian dan percaya pada suatu cerita. Bahkan perilaku keberagamaan kita dewasa ini tak ubahnya industri keyakinan yang menjual cerita-cerita. Masyarakat manusia merupakan portofolio identitas. Tidak ada cerita yang benar-benar valid jika kita berani melakukan tes realitas, suatu upaya pencarian kebenaran tanpa henti yang meragukan semua cerita sampai cerita tersebut benar-benar terjadi.[25]

21. Meditasi

Memaknai hidup dalam mencari realitas yang paling benar dapat dilakukan dengan pelbagai cara, salah satunya dengan meditasi, dzikir, shalat, bertapa, yoga, atau refleksi mendalam. Kita harus menggali dari kedua sisi, otak dan pikiran. Dengan otak kita mencari melalui metode empiris, sementara dengan pikiran kita mencari melalui metode filosofis. Yang satu secara fisik, yang lainnya secara metafisik.[26]

________________

[1] Yuval Noah Harari, 21 Lessons; 21 Adab untuk Abad 21. Global Indo Kreatif, Manado. 2018, hal 1.
[2] Ibid, hal 9.
[3] Ibid, hal 37.
[4] Ibid, hal 68.
[5] Ibid, hal 85.
[6] Ibid, hal 91.
[7] Ibid, hal 100.
[8] Ibid, hal 114.
[9] Ibid, hal 136.
[10] Ibid, hal 149.
[11] Ibid, hal 159.
[12] Ibid, hal 169.
[13] Ibid, hal 180.
[14] Ibid, hal 191.
[15] Ibid, hal 207.
[16] Ibid, hal 214
[17] Ibid, hal 220.
[18] Ibid, hal 233.
[19] Ibid, hal 238.
[20] Ibid, hal 244.
[21] Ibid, hal 263.
[22] Ibid, hal 268.
[23] Ibid, hal 279.
[24] Ibid, hal 289.
[25] Ibid, hal 333.
[26] Ibid, hal 341

Posting Komentar

0 Komentar