Islamisasi di Indonesia
Terdapat banyak versi berkenaan kapan dimulainya islamisasi di Indonesia. Setidaknya bukti yang paling umum diketahui ialah pada abad ke 13, 14 atau 15. Mengenai daerah yang paling pertama disentuh, juga terdapat beberapa versi. Ada yang menyebut Kerajaan Samudra Pasai di Sumatera, ada pula yang menyebut Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sementara pertanyaan mengenai siapa dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia, hanya terdapat dua pendapat umum, yaitu oleh para pedagang dari India, China dan Persia yang kemudian menikah dengan warga lokal yang menggunakan jalur perdagangan pesisir dengan masyarakat kelas bawah sebagai target pertama dan utamanya.
Terdapat banyak versi berkenaan kapan dimulainya islamisasi di Indonesia. Setidaknya bukti yang paling umum diketahui ialah pada abad ke 13, 14 atau 15. Mengenai daerah yang paling pertama disentuh, juga terdapat beberapa versi. Ada yang menyebut Kerajaan Samudra Pasai di Sumatera, ada pula yang menyebut Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sementara pertanyaan mengenai siapa dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia, hanya terdapat dua pendapat umum, yaitu oleh para pedagang dari India, China dan Persia yang kemudian menikah dengan warga lokal yang menggunakan jalur perdagangan pesisir dengan masyarakat kelas bawah sebagai target pertama dan utamanya.
Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa Islam dibawa oleh kaum Sufi pada abad 13 akibat keruntuhan Baghdad oleh Bangsa Mongol, yang mana target utama kaum Sufi tersebut adalah para kalangan elit kerajaan yang tertarik dengan ilmu ghaib, irfan, tidak terlalu berparadigma fikih, yang cukup relevan dengan keyakinan lama para bangsawan tersebut, yaitu Hindu-Budha. Khusus mengenai Babad tanah Jawi, atau hikayat masuknya Islam di tanah Jawa, Wali Songo mendapat tempat yang paling umum dan spesial perihal permulaan Islamisasi di Jawa.
Dapat disederhanakan bahwa, jika penduduk yang akan diislamkan adalah penduduk kalangan bawah, maka yang menjadi misionaris adalah ulama yang berprofesi sebagai pedagang. Hal ini penting mengingat pesan-pesan revolusioner dan egaliter yang disodorkan oleh para ulama pedagang tersebut. Sementara jika penduduk yang menjadi target dakwah adalah kalangan bangsawan elit yang masih kental dengan budaya Jawa, maka misionarisnya adalah kaum Sufi yang mengutamakan pesan-pesan ghaib, irfan, dan yang tidak terlalu mengutamakan fikih di atas segala-galanya. Jika ulama pedagang yang berdakwah pada kalangan bangsawan, yang terjadi justru bukan Islamisasi, melainkan Jawanisasi. Yang jelas, baik itu melalui jalur perdagangan, maupun jalur Sufi, Islamisasi di Indonesia yang dibawa oleh ulama non pribumi dilakukan tanpa pertumpahan darah dan penaklukan militer. Baru setelah kerajaan Indonesia mengadopsi agama Islam, mereka kemudian melakukan ekspansi demi perluasan kerajaan mereka atas kerajaan lain dengan dalih Islamisasi.
Masuknya Budaya Eropa ke Indonesia
Terdapat dua kerajaan besar saat Eropa masuk ke nusantara, yaitu kerajaan Majapahit dan Malaka. Majapahit begitu berjaya saat kepemimpinan raja Hayam Wuruk. Abad ke 13, 14, dan 15 merupakan abad kejayaan kerajaan Majapahit. Saat itu pula diciptakan karya tulis oleh Mpu Tantular yang berjudul Sutasoma. Di dalam kitab tersebut termaktub ajaran mengenai Bhineka Tunggal Ika, Tan hana Dharma Mangruwa (berbeda-beda tapi satu, tidak ada kebenaran yang mendua). Saat kejayaan Majapahit pula ditemukan prinsip mengenai Pancasila. Saat itu pula lahir seorang Patih Gajahmada yang bersumpah akan menyatukan nusantara (pulau-pulau luar jawa) dengan jawa sebagai pusat kerajaan Majapahit.
Ekspansi Majapahit kemudian berlanjut hingga ke Palembang, bekas pusat kejayaan kerajaan Sriwijaya yang runtuh pada abad ke 12. Konon, ada pangeran yang berhasil lolos dari amukan tentara Majapahit, hingga mendirikan kerajaan baru bernama Malaka, yang sekarang dikenal sebagai Negara Malaysia. Berjayanya kerajaan Malaka dikarenakan jalur emas perdagangan mereka yang berpusat di pelabuhan. Malaka menjadi salah satu pusat perdagangan dunia saat itu. Pada abad ke 15-16, Negara-negara Eropa yang baru bangkit dari zaman kegelapan tergiur dengan perdagangan Malaka, utamanya rempah-rempah yang merupakan barang mahal di Eropa.
Awalnya Malaka, kemudian meluas pada daerah penghasil rempah-rempah berkualitas lainnya, seperti Maluku, Banten, Pesisir Utara Jawa, dan lain sebagainya. Portugis kemudian bergiliran dan saling berebutlah Negara-negara Eropa yang lain semisal Spanyol, Inggris, dan Belanda untuk memperebutkan kekayaan Nusantara. Akhirnya Belanda, dengan Serikat dagang Hindia Timur-nya (VOC) pada tahun 1602 berhasil menjadi tuan atas tanah kaya nusantara. Setelah berhasil memukul mundur musuh-musuh Eropanya, menjajah penguasa-penguasa lokal, Belanda kemudian menjadikan Jayakerta sebagai basis utama kekuasaannya di Nusantara.
Belanda kemudian mengganti nama Jayakerta menjadi Batavia pada dekade awal abad ke 17. Batavia sendiri berasal nama suku kuno Jerman yang terdapat di Belanda. Pemilihan Jayakerta sebagai pusat kekuasaan dikarenakan setidaknya dua hal, posisi strateginya yang dekat dengan jalur perdagangan ke Eropa dan ke nusantara bagian timur, serta kurang kuatnya penguasa lokal Jayakerta pada waktu itu hingga dengan mudah ditaklukkan tanpa perlawanan kembali yang cukup signifikan.
Belanda kemudian mengganti nama Jayakerta menjadi Batavia pada dekade awal abad ke 17. Batavia sendiri berasal nama suku kuno Jerman yang terdapat di Belanda. Pemilihan Jayakerta sebagai pusat kekuasaan dikarenakan setidaknya dua hal, posisi strateginya yang dekat dengan jalur perdagangan ke Eropa dan ke nusantara bagian timur, serta kurang kuatnya penguasa lokal Jayakerta pada waktu itu hingga dengan mudah ditaklukkan tanpa perlawanan kembali yang cukup signifikan.
Kekuatan Terakhir Nusantara
Pada rentang waktu 1500-1650 hanya terdapat 3 kekuatan besar di Nusantara, yaitu Kerajaan Aceh di Sumatera yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Demak dan Mataram di Jawa yang dipimpin oleh Raden Fatah dan Sultan Agung, serta Kerajaan Gowa, Bone dan Luwu di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa.
Sebenarnya cukup banyak kerajaan besar di Nusantara, hanya karena kurangnya bukti autentik berupa tulisan, mengakibatkan kurangnya pula akurasi dan validasi mengenai fakta atas kebesaran kerajaan tersebut. Adapun warisan sastra yang ditinggalkan oleh kerajaan di Sumatera adalah Hikayat Melayu, oleh kerajaan di Jawa adalah Babad tanah Jawi, dan oleh Sulawesi Selatan adalah La Galigo.

0 Komentar