Politik antikorupsi di Indonesia

Hegel mengelompokkan korupsi ke dalam dua bagian; korupsi dalam arti sempit dan korupsi dalam arti luas. Korupsi dalam arti sempit kurang lebih seperti yang tertera dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu perbuatan merugikan keuangan negara dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sementara dalam arti luas, Hegel mengartikan korupsi adalah segala perbuatan yang menghambat tujuan etis dari politik, yaitu tercapainya kebajikan bersama.

Itu artinya, segala upaya pelemahan perlindungan warga, pembodohan kehidupan bangsa, pemunduran kesejahteraan umum, dan ketidaksertaan dalam ketertiban dunia merupakan korupsi dalam arti yang luas. Maka, menghambat tercapainya tujuan negara dan Pancasila yang tertera dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah perilaku koruptif. Inilah pendekatan yang khas ala Malik Ruslan dalam bukunya ini. Pendekatan multiperspektif terhadap pemberantasan korupsi. 

Bahkan, Malik Ruslan menyadarkan kita betapa korupsi telah ditafsir sebagian rezeki bagi sebagaian warga kita. Rezeki tersebut baru menjadi malapetaka ketika ketahuan. Di satu sisi, kita merancang banyak aturan tentang pemberantasan korupsi. Di sisi lain, korupsi justru semakin masif dan terdesentralisasi ke pelbagai daerah, lembaga negara, dan lintas profesi. Itulah mengapa Malik Ruslan dalam subjudul bukunya ini menyatakan bahwa korupsi merupakan ambiguitas, semakin diberantas, justru semakin menjamur. Secara berangsur-angsur (gradual), Malik kemudian mendedahkan politik antikorupsi di Indonesia.

Korupsi dalam Kajian Akademis

Korupsi dalam perspektif politik dipandang sebagai sesuatu yang menghambat tercapainya tujuan etis politik itu sendiri, yaitu kebajikan bersama. General welfare state akan sulit terwujud jika bandit-bandit koruptor menggerogoti upaya menyejahterahkan masyarakat. Sementara dalam perspektif hukum, korupsi dikelompokkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga perkembangan hukum kemudian menuntut upaya penanganan luar biasa terhadap pelaku kejahatan korupsi, mulai dari pemiskinan, hingga hukuman mati.

Korupsi dalam perspektif ekonomi dipandang memiliki konsekuensi terhadap terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan mendistorsi alokasi sumber daya. Akibatnya, korupsi berdampak buruk bagi efisiensi. Bagi Malik Ruslan, korupsi dalam diskursus akademik, hanya dianalogikan sebagai kecambah atau paling tinggi sebagai pohon. Namun, sekeras apapun upaya memberantas kecambah dan pohon, akan tumbuh seribu lagi pohon-pohon korupsi, jika ia tumbuh subur di tanah yang mendukung pertumbuhan pohon korupsi tersebut. Maka, selain pendekatan akademis, pendekatan kebudayaan juga dibutuhkan dalam memberantas korupsi.

Budaya, Korupsi, dan Kita

Budaya, bukan sekadar seperangkat nilai, melainkan sebuah realitas obyektif yang berhadapan dengan manusia. Budaya merupakan rangkaian gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dipertahankan secara turun-temurun. Budaya bersala dari akar kata abbyudaya yang berarti keadaban budi yang tinggi, sebagaimana kata Ki Hadjar Dewantara.

Maka, pernyataan Hatta bahwa korupsi sudah membudaya dapat kita maknai bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan umum masyarakat kita, bukan pengarusutamaan atau pemuliaan bagi korupsi. Budaya ibarat tanah bagi tumbuh dan berkembangnya suatu pohon korupsi. Jika budaya kita baik, maka ia akan menjadi tanah tandus yang melayukan pohon korupsi. Namun, jika budaya kita buruk, maka ia akan menjadi tanah subur yang menumbuh-kembangkan pohon korupsi. Budaya hukum dan budaya politik yang rapuh akan menjadi katalisator bagi berkembangnya korupsi.

Pohon korupsi di taman nasional semakin meluas ke pelbagai daerah, lembaga, dan profesi. Mulai dari Sabang sampai Marauke, mulai dari Miangas hingga Pulau Rote, marak kita dapati kasus-kasus korupsi. Begitupun dengan lembaga negara, mulai dari kementerian, legislatif, hingga lembaga peradilan. Dalam skala profesi, mulai dari pengacara, perbankan, hingga profesor tak luput dari korupsi. Program yang dikorupsi pun bermacam-macam, mulai dari pengadaan alat kesehatan, kouta Haji, pengadan Al-Qur’an, dana pendidikan, infrastruktur, hingga anggaran pemberantasan korupsi juga dikorupsi. Jika tidak dilakukan gerakan simultan dan kontiniu terhadap pemberantasan korupsi, bukan tidak mungkin, sebentar lagi kita akan memiliki taman nasional korupsi yang dapat kita kunjungi di waktu senggang.

Korupsi dan Strategi Kebudayaan

Signifikansi strategi kebudayaan dapat kita mulai dari tidak menyederhanakan korupsi sebagai analogi pohon, apalagi kecambah. Seperti pembagian koruptor oleh Susilo Bambang Yudhoyono, ke dalam koruptor yang memang berniat melakukan korupsi, berbeda dengan pejabat yang tidak tahu bahwa kebijakan yang diambil adalah korupsi. Simplifikasi semacam itu terbantah oleh asas hukum yaitu fiksi hukum, bahwa setiap masyarakat, apalagi pejabat, dianggap tahu hukum.

Korupsi yang tidak dikenal dalam bahasa daerah, menurut Soetandyo, merupakan persoalan kebudayaan. Karena bahasa merupakan elemen kebudayaan. Tidak dikenalnya korupsi dalam literatur daerah, membuat korupsi dianggap bukanlah kejahatan luar biasa. Apapun nama spektrum atau strategi kebudayaannya, apakah revitalisasi, transformasi, atau restorasi kebudayaan, yang jelas tanah kebudayaan kita harus digarap ulang agar tidak menyuburkan pohon korupsi.

Perspektif Antikorupsi

Gradualitas atau dinamika perspektif antikorupsi dari rezim ke rezim mengalami perbedaan. Pada rezim orde lama, korupsi dipandang sebagai masalah administratif, kalau bukan masalah moral. Sementara pada rezim orde baru, korupsi dipandang sebagai penghambat pembangunan nasional. Baru pada rezim reformasi, korupsi dipandang sebagai musuh negara dan bangsa. Maka, pada era inilah korupsi diberantas dalam segala lini dan secara simultan.

Korupsi menjadi murka rakyat. Mulai dari kampus, gerakan lembaga swadaya masyarakat, hingga ormas keagamaan menyuarakan fatwa dan perlawanannya terhadap korupsi. Pelbagai lembaga negara pun berlomba-lomba bekerjasama dengan KPK dalam memberantas korupsi. Meskipun KPK mendapat pelemahan oleh beberapa oknum, KPK malah makin gencar meringkus secara OTT pelaku korupsi, giat melakukan penyuluhan antikorupsi dalam upaya pendidikan dini antikorupsi, perlombaan film antikorupsi, hingga pengadaan kantin kejujuran. 

Dinamika Politik Antikorupsi

Peta buta pemberantasan korupsi ala orde lama dan orde baru kini mulai ditinggalkan. Dengan dimotori oleh KPK, pemberantasan korupsi pun dibuatkan road map jangka panjang demi kontiniutas pemberantasan korupsi. Imbasnya, rakyat bersatu-padu mendukung KPK dalam menangkap para koruptor. KPK kemudian bekerjasama dengan koruptor dengan mekanisme collaborative justice demi mengungkap skandal korupsi yang terkait dan yang lebih besar. KPK juga bekerjasama dengan jaringan antikorupsi internasional dalam memberantas korupsi yang sudah menjadi masalah global.

Era reformasi disinyalir sebagai tonggak, bukan hanya pemberantasan, melainkan pula pencegahan korupsi. Namun, korupsi masih terjebak oleh ambiguitas. Di satu sisi, pemberantasannya telah masif, tetapi koruptor dan korupsi juga malah semakin sering ditemukan. KPK memang telah didukung oleh publik dan banyak kalangan, namun kriminalisasi komisioner KPK dan pelemahan kewenangan KPK juga makin deras mengalir.

Epilog

Inilah negeri darurat korupsi. Seperti yang dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono, negeri ini akan hancur, jika kita tidak menghentikan pertumbuhan korupsi. Wajar, jika beliau menyatakan akan menjadi panglima dan perang melawan korupsi. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, banyak kader partai yang beliau dirikan, di masa pemerintahan beliau, menteri yang beliau tunjuk, bahkan besan beliau, terjerat kasus korupsi. 

Korupsi tumbuh bak pohon jamur di musim hujan. Korupsi juga terdesentralisir ke daerah, pelbagai lembaga negara, dan lintas profesi. Semakin banyaknya aturan pemberantasan korupsi, tetapi pelanggaran terhadapnya juga semakin banyak ditemukan. Kekuasaan bukan lagi cenderung korup, sebagaimana kata Lord Acton, tetapi sudah relatif menyatu dengan korupsi itu sendiri. Korupsi pun tidak lagi patriarki, melainkan juga dilakukan oleh para istri-istri pejabat, hingga melibatkan anak dan sanak famili lainnya. Demokrasi dan pembangunan yang dianggap dapat mengurangi korupsi, justru tidak terjadi di Indonesia.

Korupsi bukan sekadar eksekusi, melainkan harus didahului dengan pendekatan preventif (mencegah kesempatan pelaku kejahatan) dan preemtif (mencegah niat pelaku kejahatan). Korupsi juga bukan sekadar pendekatan akademik ilmu politik, hukum, ataupun ekonomi, melainkan pula diperlukan strategi kebudayaan untuk memberantas akar, bahkan tanah-tanahnya. Langkah selanjutnya dalam perang melawan korupsi ini adalah beranikah kita menerapkan hukuman mati kepada koruptor? 

Dengan dalih bahwa hak asasi manusia tidak berlaku bagi pelanggar hak asasi manusia, dan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang melanggar hak asasi manusia karena menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hukuman mati bagi koruptor tidaklah melanggar hak asasi manusia. Karena nyatanya, sekarang masih banyak mantan narapidana koruptor masih bebas ikut serta dalam kontestasi demokrasi politik atau menjadi semakin kaya dengan pelbagai bisnis baru yang ia kembagkan sejak dalam tahanan. Jika kenyataannya demikian, maka gradualitas politik antikorupsi memang masih mengandung ambiguitas.

Posting Komentar

0 Komentar