Buku Perempuan Di Titik Nol, ditulis oleh
Nawal El-Saadawi. Buyang membahas tentang feminisme ini, menceritakan tentang kisah nyata seorang
perempuan berasal dari Mesir yang
bernama Firdaus. Firdaus adalah perempuan pelacur kelas ekslusif atau kelas
atas yang divonis hukuman mati oleh
hakim karena terlibat kasus pembunuhan seorang germo, yang pada dasarnya pembunuhan
itu berlangsung karena ia ingin melindungi dirinya dari segala penyiksaan dan
penindasan yang keji dari kaum laki-laki di sekitarnya. Lewat novel ini, penulis
menggambarkan kehidupan yang begitu kejam dan menyiksa yang dialami oleh perempuan Mesir pada tahun
1970-1980.Masa Kecil Firdaus
Firdaus berasal dari keluarga petani di Mesir, di desa yang jauh dari kota. Pada masa itu, perempuan di Mesir seringkali menjadi objek kekerasan, pelecahan seksual, bahwa perempuan di padang pasir hanya sebagai pemuas hasrat kaum laki-laki. Firdaus sendiri harus bertahan dengan kehidupan yang sangat kejam dan tidak berada. Sejak masa kecilnya, ia telah menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual oleh pamannya sendiri, yang tenar dipanggil Syeikh.
Di lingkungan keluarga Firdaus, ia dibesarkan oleh ayah yang memperlakukan dirinya dan ibunya secara tidak adil dan tidak manusiawi. Firdaus sudah mengalami penganiayaan, baik dari segi fisik maupun mental, oleh seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai seorang ayah. Ketika ayah dan ibunya meninggal dunia, Firdaus dirawat oleh paman dan bibinya.
Firdaus Dewasa
Ketika Firdaus beranjak dewasa dan telah menikah, dirinya pun masih kerap menjadi korban kekerasan oleh suaminya. Malang benar nasibnya yang hidup dalam masa kejayaan patriarki, di mana laki-laki selalu memiliki derajat yang tinggi dibanding perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan yang kapan saja bisa menindas, menyakiti perempuan, padahal seharusnya itu tidak terjadi. Hak-hak dan kewajiban seorang perempuan tidak diberikan, pendidikannya dibatasi, di mana pada masa itu perempuan di Mesir hanya boleh melanjutkan pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Firdaus sendiri memiliki Ijazah SMA, namun pendidikan yang diperolehnya menjadi sia-sia, karena ia tidak diberikan kesempatan untuk bekerja oleh keluarganya, selalu dikekang tanpa diberikan kebebasan sedikitpun.
Firdaus dinikahkan dengan pria yang jauh dari usianya. Saat itu Firdaus masih berusia 18 tahun, sementara ia harus dinikahkan dengan pria yang berusia lebih dari 60 Tahun. Menikah dengan seorang pria yang kaya raya dan sangat pelit, yang memiliki bisul di sekitar wajahnya, sungguh membuat Firdaus jijik terhadap apa yang menjadi pilihan paman dan bibinya tersebut. Namun ia tidak bisa menolak, karena hal ini merupakan bentuk balas budi pada pamannya yang telah merawat dan membesarkannya semenjak kedua orangtuanya meninggal. Selama menikah, Firdaus diperlakukan oleh suaminya dengan kasar. Sentuhan fisik demi fisik yang selalu dia dapati dengan penyiksaan yang tak kunjung henti, membuat Firdaus sangat terkekang dan pergi meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan suami dan keluarganya.
Tiada Cinta Sejati bagi Firdaus
Di tengah perjalanan saat Firdaus lari dari rumah, ia bertemu dengan sosok pria yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Pria
itu bernama Bayoumi, pria yang menurutnya baik dan dapat
menolong dirinya ternyata berbanding terbalik, justru pria ini membawa Firdaus
pada kehancuran. Awalnya dia mengajak Firdaus tinggal serumah, sampai pada
akhirnya dia menjadikan Firdaus sebagai pemuas hasratnya dan teman-temannya. Penderitaan
Firdaus tidak sampai di situ, selang beberapa waktu Firdaus bertemu dengan
seorang perempuan cantik yang bernama Syarifa. Tanpa sepengetahunannya, Syarifa
adalah seorang germo yang memperkenalkan Firdaus pada profesi pelacur.
Tanpa berfikir jernih, Firdaus beranggapan bahwa dengan profesi tersebut dia memiliki harga diri yang tinggi dan membuat kehidupan pribadinya bercukupan. Firdaus yang kemudian dikenal sebagai sosok pelacur yang kaya raya, sungguh iba melihat perempuan di Mesir pada saat itu. Dengan keadaan tersebut, Firdaus tidak merasa senang. Karena dirinya masih merasa terkekang dan tidak bisa merasakan kebebasan, dia sempat berhenti dari profesinya sebagai pelacur dan bekerja sebagai pegawai kantoran. Hal ini tidak berlangsung lama, karena keadaan yang buruk kembali menimpanya, sehingga ia memutuskan kembali ke profesinya yang suram, yaitu menjadi seorang pelacur,
Suatu malam dirinya ingin terlepas dari beban fikiran dan beban moril yang sejak kecil ia rasakan, ia tidak mau lagi diinjak-injak oleh kaum laki-laki. Namun, keputusan yang ia ambil menimbulkan pertikaian yang hebat antara dirinya dan germo. Apa yang terjadi pada saat itu? Sang germo terus memaksa dan mengancam Firdaus agar tidak berhenti dari profesinya. Tanpa berfikir panjang, Firdaus membunuh germo tersebut.
Akhir Kisah Firdaus
Dan kemudian ia pergi. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pangeran yang mau membayarnya mahal. Firdaus menjawab dengan perkataan bahwa ia telah membunuh seorang laki-laki, dan akan membunuh setiap laki-laki. Pangeran itu ketakutan dan lari sambil melaporkannya kepada polisi. Firdaus pun ditangkap dan divonis hukuman mati, karena ia dianggap sebagai pembunuh yang gila.
Firdaus menolak ketika diminta untuk mengajukan grasi kepada presiden, karena ia beranggapan bahwa vonis hukuman mati adalah jalan terbaik untuk bebas dari laki-laki. Hal itu tidak membuat Firdaus merasa bersalah, karena dengan tindakan seperti itu ia bisa memerdekakan dirinya sebagai kaum perempuan. Harga diri lebih penting dibandingkan dengan segala nilai ekonomis yang ia dapatkan selama ini dari profesinya menjadi seorang pelacur kelas ekslusif yang kaya raya.
“Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tidak mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi memiliki rasa takut mati. Saya tidak mengharapkan apa-apa.” (hal. 168). Beban hidup yang selama ini ia dapatkan dari perlakuan laki-laki terhadapnya, membuat diri Firdaus begitu keras, hingga ia menjadi sosok perempuan tanpa rasa takut dan berani menerima konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan.
Hikmah dari Sebuah Novel
Tanpa berfikir jernih, Firdaus beranggapan bahwa dengan profesi tersebut dia memiliki harga diri yang tinggi dan membuat kehidupan pribadinya bercukupan. Firdaus yang kemudian dikenal sebagai sosok pelacur yang kaya raya, sungguh iba melihat perempuan di Mesir pada saat itu. Dengan keadaan tersebut, Firdaus tidak merasa senang. Karena dirinya masih merasa terkekang dan tidak bisa merasakan kebebasan, dia sempat berhenti dari profesinya sebagai pelacur dan bekerja sebagai pegawai kantoran. Hal ini tidak berlangsung lama, karena keadaan yang buruk kembali menimpanya, sehingga ia memutuskan kembali ke profesinya yang suram, yaitu menjadi seorang pelacur,
Suatu malam dirinya ingin terlepas dari beban fikiran dan beban moril yang sejak kecil ia rasakan, ia tidak mau lagi diinjak-injak oleh kaum laki-laki. Namun, keputusan yang ia ambil menimbulkan pertikaian yang hebat antara dirinya dan germo. Apa yang terjadi pada saat itu? Sang germo terus memaksa dan mengancam Firdaus agar tidak berhenti dari profesinya. Tanpa berfikir panjang, Firdaus membunuh germo tersebut.
Akhir Kisah Firdaus
Dan kemudian ia pergi. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pangeran yang mau membayarnya mahal. Firdaus menjawab dengan perkataan bahwa ia telah membunuh seorang laki-laki, dan akan membunuh setiap laki-laki. Pangeran itu ketakutan dan lari sambil melaporkannya kepada polisi. Firdaus pun ditangkap dan divonis hukuman mati, karena ia dianggap sebagai pembunuh yang gila.
Firdaus menolak ketika diminta untuk mengajukan grasi kepada presiden, karena ia beranggapan bahwa vonis hukuman mati adalah jalan terbaik untuk bebas dari laki-laki. Hal itu tidak membuat Firdaus merasa bersalah, karena dengan tindakan seperti itu ia bisa memerdekakan dirinya sebagai kaum perempuan. Harga diri lebih penting dibandingkan dengan segala nilai ekonomis yang ia dapatkan selama ini dari profesinya menjadi seorang pelacur kelas ekslusif yang kaya raya.
“Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tidak mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi memiliki rasa takut mati. Saya tidak mengharapkan apa-apa.” (hal. 168). Beban hidup yang selama ini ia dapatkan dari perlakuan laki-laki terhadapnya, membuat diri Firdaus begitu keras, hingga ia menjadi sosok perempuan tanpa rasa takut dan berani menerima konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan.
Hikmah dari Sebuah Novel
Kesimpulan yang dapat dipetik dari vovel
ini adalah; bahwa kita sebagai kaum perempuan tidak boleh lemah dalam menerima segala bentuk
penindasan yang terjadi pada diri kita. Sebaliknya, kita harus menjadi perempuan yang intelektual. Namun itu saja tidak cukup tanpa adanya realisasi dari apa yang kita ketahui. Ruang
perempuan untuk bergerak di bidang mana saja sangatlah besar. Emansipasi wanita
telah muncul, saatnya perempuan mendapatkan hak dan kewajibannya tanpa tekanan
dari manapun. apalagi dari kaum laki-laki. Akan tetapi, setiap cita-cita yang baik, harus diperjuangan dengan cara-cara yang baik pula.
0 Komentar