Negara Bukan-Bukan?

Tantangan utama masyarakat modern adalah pluralisasi, dan bukan sekularisasi. Tak terhindarkan masyarakat modern dihadapkan pada faktum adanya konflik normatif, suatu konflik yang muncul dari kenyataan bahwa setiap komunitas memiliki pandangan normatif yang menyeluruh tentang identitas diri, tentang bagaimana hubungan antara agama dan negara politik diatur. Konflik-konflik tersebut menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak jarang melahirkan disintegrasi. Oleh karena itu, pengolaan konflik normatif merupakan salah satu masalah utama yang harus dipecahkan oleh segenap masyarakat modern. 

Secara teoritis ada dua jalan pemecahan: paksaan dan damai. Pengelolaan konflik normatif atas dasar prinsip paksaan berarti ada pihak yang berkeinginan agar cita-cita partikular keagamaannya sendiri menjadi tolak ukur kehidupan bernegara dan berbangsa. Konflik di sini di pecahkan menurut tolak ukur kuat-lemah.  Ciri khas pemecahan dengan cara paksaan adalah bahwa tatanan yang di hasilkannya tidak stabil karena tatanan yang di hasilkan hanya bisa diterima selama dapat dipaksakan oleh pihak yang kuat. Cara pemecahan konflik normatif yang kedua adalah menyepakati pemecahannya dengan berorientasi pada tuntunan keadilan. Idea keadilan adalah tolak ukur normatif keabsahan suatu tatanan sosial. Adil berarti bahwa hak semua pihak terjamin da tidak diskriminasi; pemecahan yang adil pada prinsipnya dapat disetujui oleh semua pihak dan justru karena itu tatanan yang di hasilkan efektif dan stabil.

          Di indonesia, sejak Sukarno dan para intelektual Islam seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir memersoalkan relasi antara agama dan negara dalam pelbagai surat kabar pada masa pra-kemerdekaan, relasi antara agama dan negara mejadi salah satu wacana krusial yang terus dipolemikkan hingga sekarang. Dalam situasi masyarakat modern yang plural, gesekan antara yang publik dan yang privat rasa-rasanya tak terelakkan lagi. Itulah sebabnya mengapa persoalan relasi antara agama dan negara tetap menjadi tema yang seksi diskursus etika politik.

Filsafat pancasila Driyarkara

Buku ini hendak mendiskusikan persoalan relasi antara agama dan negara berdasarkan kajian filsafat Pancasila Profesor Dr. Nicolaus Driyarkara (1913-1967) yang ia bawakan dalam prasarannya tentang Pancasila di Yogyakarta pada 1959 dan jakarta pada 1966. Pertanyaan pokok yang hendak di jawab adalah apakah Indonesia atau Negara sekular atau Negara agama atau bukan kedua-duanya?
Ketika Driyarkara memandang Pancasila sebagai “ada bersama dalam cinta kasih kepada Tuhan”. Driyarkara menempatkan prinsip ketuhanan sebagai sila terakhir dari kelima sila pancasila. Alasannya adalah bahwa “ide tentang prinsip ketuhanan mencul setelah ide kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi dan kebangsaan”. Betul bahwa Tuhan adalah pencipta, tetapi kesadaran manusia akan adanya Tuhan sebagai pencipta baru muncul setelah ia menyadari dirinya sebagai mahluk ciptaan. Posisi ini merupakan kensekuensi langsung dari pendekatan fenomologis yang dipakai Driyarkara. Berdasrkan investigasi filosofis tentang Pancasila dalam pebandingannya dengan kodrat manusia, Driyarkara merumuskan Pancasila sebagai dalil-dalil filosofis sebagai berikut :

Negara Bukan-Bukan
Menurut Driyarkara, Indonesia adalah negara “bukan-bukan”. Beberapa catatan awal, pertama Pancasila berhubungan erat dengan agama karena Pancasila adalah bakat atau dorongan ke arah agama, kedua, Driyarkara menawarkan paradigma diferensiasi dan pelampauan politik identitas untuk menyantuni relasi antara agama dan negara, ketiga mempertanyakan sejauh mana paradigma diferensiasi dan pelampauan politik identitas itu mampu menyantuni fenomena pluraliasi masyarakat modern. Di satu pihak, agama dan Negara perlu di deferensiasi sebagai dua karya yang berbeda, agama bukan Negara, dan Negara bukan agama. Pembedaan agama dan Negara tidak bertujuan untuk mendepak agama ke ranah privat, melainkan merangkul agama untuk dapat berpartisipasi dalam ruang publik kehidupan menegara dengan menjalankan peran sebagai sumber moralitas public ata civil religion.
Penutup
                Pola dasar relasi agama dan Negara mesti di petakan sebagai berikut: pertama,agar tidak terjebak dalam kontradiksi, kita perlu melakukan diferensiasi antara agama dan negara sebagai dua karya yang berbeda. Pembedaan dan pemisahan ini penting agar Negara Pancasila tidak terjebak dalam atau Negara sekular atau Negara agama. Namun, pembedaan agama dan negara sebagai dua karya yang berbeda tidak lantas mendepak agama hanya kepada ranah privat saja. Agama tetap berperan dalam ranah publik melalui pelaksanan prinsip ketuhanan. Gusdur mengungkapkan bahwa kalau berurusan dengan tetangga yang muslim dalam soal agama saya menggunakan keIslaman saya, kalau berurusan dengan sesama muslim dalam urusan Negara atau dengan orang beragama lain dalam soal agama digunakanlah Pancasila.

Posting Komentar

0 Komentar