Jejak Nabi Palsu


“Dan demikian Kami jadikan bagi tiap tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (jenis) Jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” QS Al- An’am, 6:112

Rusaknya pengajaran kehanifan Ibrahim a.s., terselewengnya ajatan Taurat Musa a.s, serta hancurnya ajaran Injil Nabi Isa Al-Masih dimasa lalu merupakan segelinter kecil dari bukti bukti kebrutalan manusia dalam menyikapi tuntunan Ilahi. Hal yang sama tapaknya juga akan terulang pada ajaran Islam yang dibawah oleh Muhammad Saw. Sedikit demi sedikit apa yang disampaikan oleh putra Arabia kelahiran mekkah ini mulai mengalami penyusupan , perkodifikasian dan juga berbagai jenis distorsi lainnya.

Dipenghujung abad ke-19 , dari tanah india muncul nama Mirza Ghulam Ahmad yang kelompoknya dikenal dengan Ahmadiyah yang beraliran Qadiyan. Menyebut dirinya seorang nabi Rasul Allah sekaligus replika dari Nabi Isa Al-Masih dan Imam Mahdi. Tahun 1971 seorang muslim ahli kimia matematika dan computer sekaligus biokimia kelahiran mesir dan berkewarganegaraan Amerika bernama Rashad Khalifah memproklamirka dirinya sebagai seorang Rasul baru yang diangkat oleh Allah saat menunaikan ibadah hajinya di tanah suci Mekka. Dan sekitar tahun 1998, Indonesia dihebohkan oleh pernyataan seseorang wanita yang bernama Lia Alimuddin yang mempublikasikan dirinya secara terbuka sebagai Imam Al-Mahdi, sekaligus replika dari perawan Maria dan Bunda Maryam, ibundanya Nabi Isa Al-Masih. 

Dari sejumlah kasus identik yang terkini, aktual dan terkenal seperti konsepsi Kerasulan Dan Kenabian yang dikonsepkan oleh Mirza Glulam Ahmad dengan Ahmadiyah-nya yang beraliran Qadiyan, Lia Alimuddin dan Ahmad Mukti lewat Salamullah atau God’s Kingdom eden-nya, Ahmad musaddiq melalu jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah-nya, serta Rashad Khalifa. Adalah sejumlah data kecil yang rasanya cukup mewakili bagi kita dalam memperlihatkan betapa banyaknya klaim Kenabian dan Kerasulan pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, yang mesti direspon sebagai fenomena keagamaan dan harus disikapi secara konprehensif dengan bersandar pada epestimologi agama yang benar.

Kontroversi Kenabian dan Kerasulan

Salah satu sabab perbedaan pandangan di antara ulam tentang Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Adalah karena adanya perbendaan dalam memahami Qs: Al-Ahzab. 33:40. Menurut sebahagia ulama yang berpandangan kemungkinan adanya Nabi setelah Muhammad mangatakan bahwa adanya Istilah “Khatamun Nabiyyin” yang disandang oleh Nabi Muhammad sama seperti kalimat “Khatama syaiu au khataman “alaihi,” yaitu “Dia member Cap”, “Menstempel” atau mengesahkan barang itu atau dia telah membubuhkan cap pengesahan di atasnya.” Dengan demikian, secara keseluruhan makna dari istilah “ Khatam” tidak lain seperti Cincin, Cap, Stempel, dan Tanda Akhir atau penghabisan dari suatu peryataan maupun ikatan tertentu. Selain itu kata “Khatam” juga dapat berarti hiasan atau ornamen, yang paling baik sempurna dari semua jenis atau bentuk hiasan.

Perdebatan panjang mengenai makna hakiki dari “Khatamun Nabiyyin” ini, semakin bertambah rumit dengan adanya riwayat dari Ummul Mukminin ‘Asyiah yang menyebutkan tentang larangan mengatakan “Lanabiya ba’di” (Tidak ada nabi sesudah Muhammad): “ katakanlah “Khatamun Nabiyyi (Penutup nabi nabi) dan jangan katakana, La nabiya ba’di.

Bila kita tinjau lebih jauh, arti dari kata “nabi” (jamaknya nabiyun dan anbiya’) itu sendiri orang yang mendapat berita atau dalam bahasa arabnya disebut Naba’. Sedangkan kata “Nubuwah” adalah masdar, asal katanya iyalah “naba’un” yang mengandung pengertian kabar atau berita yang agung dan penting, termasuk didalamnya menyangkut perkara yang akan terjadi melalui ilham dari Allah Swt. Beranjak dari riwayat tersebut, ada yang mengatakan bahwa kenabian identik dengan kerasulan, sehingga seorang nabi pastilah dia juga seorang rasul. Sepintas memang bisa dibenarkan, mengingat ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa perkara gaib itu hanya dibuka oleh Allah kepada Rasul-nya, dengan demikian saat seseorang disebut sebagai nabi atau orang yang memperoleh wahyu, sementara wahyu itu sendiri sifatnya gaib, maka tidak bisa tidak nabi itu pasti juga seorang rasul. Dalam Al-Quran surah al-Jin 72: “Hanya Dialah yang mengetahui perkara gaib, maka dia tidak meperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu kecuali kepada rasul yang diridai-NYa.”

Pendefinisian nabi dan rasul ini semakin bercabang, mengingat surah Al-Azhab mengungkapkan tetang Khatamun Nabiyyin Muhammad Saw. Tidak menyebutkan tentang tertutupnya pintu kerasulan. Sejumlah orang menyimpulkan bahwa dengan persamaan pengertian nabi dan rasul, maka praktik makna Khatamun Nabiyyin juga bermakna Kahtamar Rasul (khatam an-anbiya wa’lmursalin).

Dengan demikian, setinggi tingi derajat atau martabat manusia ini sesuda pintu kenabian tertutup oleh kerasulan Muhammad Saw. Hanyalah mendapat derajat Hatif atau Ilham, atau mimpi yang benar, atau muhaddas.

Mencari Pembahruan Sejati

Ide mengenai pembaharuan dan pemahaman islam ditengah masyarakat sesuai zaman yang berlaku, bukan berarti harus menjadikan orang yang melakukannya bisa disebut sebagai nabi, meskipun digolongkan kedalam bentuk nabi kecil maupun nabi nonsyariat seperti yang bisa dijumpai dalam konsep ajaran Ahmadiyah. Hal ini tidak lain karena Rasulullah Saw perna bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini di penguhujung saratus tahun seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.” (HR Abu Daud)

Kata “rasul” secara bahasa berarti “utusan” ketika disambung menjadi “rasulullah” bermakna “utusan Allah.” Dalam Al-Qur’an, sebutan “rasul” tidak hanya khusus bagi manusia yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya, melainkan sebutan rasul pun digunakan untuk para malaikat-Nya dan bahkan juga istilah rasul pun digunkan untuk kalangan Jin. (QS Al-An’am, 6:130) dan disebutkan juga “Allah memilih dari malaikat selaku rasul-rasul begitupun dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengan dan Maha Melihat (QS Al-Hajj, 22:75).


Hal yang menjadi persolaan adalah apakah benar konsep kerasulan yang telah dinyatakan oleh orang-orang tersebut? Kita tidak hendak mebuat polemik baru dengan mengingkari fakta bahwa istilah rasul memiliki pesrpektif yang luas saat dia hanya dimaknai dengan arti utusan. Sebab dijelaskan sebelumnya bahwa malaikat pun dapat disebut rasul Allah dan secara tegas Al-Quran ikut mendukung keberadaan pada rasul di disetiap zaman dan genarasi Bani Adam. Akan tetapi analisa kita tidak harus berhanti sampai disini. Yang menjadikan makna kerasulan itu sendiri bias atau menyesatkan pemikiran kita sendiri. Meski dalam Al-Quran tidak disebutkan tentang status kepenutupan pintu kerasulan pada diri Muhammad dan juga tidak menyinggung tentang hakikat keberadaan Rasul sesudahnya, tetapi kita bisa membagi kerasulan pada umat manusia itu dalam dua kategori yaitu kerasulan umum dan kerasulan khusus.

Kerasulan khusus adalah kerasulan yang melibatkan esensi kenabian sementara kerasulan umum merupakan bentuk kerasulan yang bisa terjadi dan terwujud tanpa adannya kenabian pada diri rasul tersebut. Kategori ini didasarkan pada perbedaan dalam Al-Quran dan sunna sendiri antara kenabian dan kerasulan. Maka defenis kerasulan untuk para penyampai agama kepada manusia lain sepeninggalan Muhammad Saw. Secara kebahasaan bisa dibenarkan. Namun kerasual tersebut dari sisi Akidah Islamiah tidak membuatnya berposisi sama seperti para nabi yang berpangkat kerasulan secara hakiki. Karena mereka tidak lebih dari seorang Muhaddas, atau pun Mutjadid. Bahkan hanya orang-orang yang berkedudukan selaku mubaligh, mutjadid dan rabbani. Sebab di utusnya Nabi Muahmmad Saw. Sebagai seorang rasul dengan status atau derajat beliau selaku Nabi dan sekaligus penutup pintu kenabian itu sendiri dalam ruang lingkup yang Universal, maka praktis telah menutup pintu Kerasulan bagi kedatangan Rasul-Rasul Lokal sesudahnya.

Wama taufiq illabillahi aalahi tawakkaltu wailahi uniib..
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Barakatuh….


Posting Komentar

0 Komentar