Falsafah Kenabian

Dalam setiap penciptaan manusia di muka bumi ini, ia akan dihinggapi beberapa pertanyaan yang terselipkan dalam benaknya. Seperti pada buku sebelumnya yang berjudul Mengapa Kita Diciptakan, Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa ketika ada pertanyaan berkenaan dengan penciptaan diri manusia, maka seketika itu pula muncul pertanyaan mengenai mengapa diutusnya seorang Nabi atau Rasul. Sejatinya, tujuan penciptaan manusia adalah mengetahui hakikat dari sebuah kebenaran. 

Adapun kemudian kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran akan Pencipta, yakni mengetahui adanya Tuhan (Allah Swt). Karena untuk sampai ke sana manusia memerlukan pembimbing, maka seketika itu terjawablah alasan tujuan daripada kenabian, yaitu memberikan bimbingan kepada manusia. Nah, untuk pembahasan spesifik mengenai kenabian, Murtadha Muthahhari menjelaskannya dalam buku yang berjudul Falsafah Kenabian yang diterbitkan oleh RausyankFikr. 

Wahyu dan Kenabian 

Sebuah keyakinan mengenai wahyu, seketika itu pula lahir sebuah konsepsi partikular terkait tentang semesta dan manusia yang berhubungan dengan kepercayaan dalam universalitas bimbingan sebagai bagian dari konsepsi monoteistik yang diajarkan Islam. Alam semesta kita ini adalah sebuah alam tujuan. Segala sesuatu ditarik kepada tujuan evolusioner oleh sebuah tujuan dari dalam atau bimbingan Ilahi. Wahyu diucapkan dalam Al-Qur’an yang suci, bahkan cara bagaimana memperoleh dan hadirnya wahyu itu sendiri di setiap mahluk hidup, yang di mana tergantung wahyu dan bimbingan yang memiliki tingkatan-tingkatan yang bervariasi. Tingkatan yang tertinggi wahyu adalah yang dialami para Nabi. Jenis wahyu ini berlandaskan pada kebutuhan manusia akan bimbingan Ilahi agar mereka dapat berproses ke arah sebuah tujuan melampaui dunia yang material. 

Para Nabi adalah penerima wahyu dalam bentuk manusia. Mereka adalah individu terpilih yang mampu untuk menerima bimbingan dan pengetahuan dari dunia yang tak terinderai. Allah Swt menilai siapa yang cocok menjadi seorang Nabi. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an yang suci; “Allah mengetahui siapa yang terbaik untuk menerima kabar-Nya (Surah Al-An’am 6:124).” 

Wahyu membangkitkan kebenaran para Nabi. Artinya wahyu menstimulasi bakat-bakat dan fakultas-fakultasnya dan membawa sebuah revolusi yang mendalam dan besar dalam dirinya untuk tujuan kemanusiaan yang baik. 

KARAKTERISTIK PARA NABI 

Mukjizat 

Setiap Nabi yang diangkat oleh Allah Swt dilengapi dengan semacam kekuatan supranatural yang menjadi alat, atau melalui sebuah mukjizat untuk membuktikan kebenaran dan kesucian dari pesan dan misinya. Al-Qur'an yang suci mengatakan mukjizat yang dimiliki setiap Nabi adalah atas kehendak Allah Swt. Ayat adalah tanda Kenabian. Al-Qur'an mengatakan bahwa setiap zaman manusia telah meminta Nabi untuk menunjukkan mukjizat kenabiaannya. Namun, sekali lagi kehadiran mukjizat para Nabi tidak atas kehendak dirinya, tetapi adalah kehendak dan kuasa Tuhan. Karena salah satu tujuan daripada adanya mukjizat adalah untuk pencarian kebenaran. 

Kemakzuman 

Sifat istimewa daripada kenabian adalah kemakzumannya, yaitu terjaga dari setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakuknnya dari dosa dan kesalahan. Artinya, para Nabi tidak pernah melakukan sebuah dosa. Adapun yang dimaksud dengan terjaga dari dosa atau selalu suci adalah bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan sudah terpikirkan dalam pahaman sorang Nabi atas konsekuensi yang akan dilakukannya. Sehingga apapun yang dilakukan adalah yang dianggap bernilai baik, benar, ataupun berfaedah. Berbeda dengan manusia biasa, yang di mana walaupnu sejatinya perbuatan yang dinilai memiliki konsekuensi kadangkala tetap saja dilakukannya, sedangkan Nabi tidak. Terjaga dari dosa dan kesalahan adalah hasil intuisi mereka, yakni dengan derajat keyakinan dan ketakwaannya. 

BIMBINGAN 

Para Nabi memulai dengan sebuah perjalanan spiritual dari makhluk menuju Allah Swt dan mendapatkan kedekatan dengan-Nya, yang mengimplikasikan perpindahan dari eksternalitas kepada internalitas. Akhirnya, perjalanan terakhir ini berakhir dengan kembalinya para Nabi kepada mahluk dengan sebuah pemikiran untuk membangun kehidupan manusia dan membimbingnya kepada jalan kebenaran. Seorang Nabi menyampaikan pesan dari Allah Swt kepada manusia dan membangkitkan serta mengorganisir kekuatan mereka yang masih tertidur. Ia mengajak manusia menuju Allah Swt dan kepada segalayang diberkati Allah Swt, yaitu kedamaian, keramahan, reformasi, kejujuran, kebenaran, dan keadilan. 

KETULUSAN TUJUAN 

Karena para Nabi memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt dan tidak pernah lalai dari misi yang diemban dari-Nya, mereka melaksanakan kewajiban dengan rasa ketulusan yang luar biasa. Mereka tidak memiliki tujuan selain membimbing manusia yang sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt, dan tidak mengharapkan imbalan untuk misi yang dilakukannya. 

PERJUANGAN DAN KONFLIK 

Perjuangannya melawan penyembah berhala, mitos, kebodohan, gagasan yang keliru, dan tirani adalah tanda lainnya dari seorang Nabi. Monoteisme, rasionalisme, dan keadilan adalah sebauh prinsip yang didakwahkan oleh seluruh Nabi. Risalah dari orang yang mendakwahkan prinsip adalah penanda penting dan mereka dapat diminta untuk memperlihatkan sebuah bukti atau mukjizat mereka. Tidak mungkin dalam sebuah risalah dari seorang yang dipilih oleh Allah Swt untuk menjadi Nabi-Nya termuat pesan yang mendukung ketidakadilan, syirik, mitos, dan kekejaman. 

MEMILIKI KITAB SUCI 

Secara kategori, para Nabi dibagi menjadi dua kategori; yaitu minoritas di mana dari golongan inilah yang memiliki kitab sendiri dan diperintakan untuk membimbing manusia berdasarkan kitabnya. Al-Qur'an menyebutkan mereka dengan Nabi (Ulul Azmi) atau biasa disebut Rasul. Kategori kedua adalah para Nabi yang tidak memiliki kitab sendiri tetapi diperintahkan untuk sebagian besar Nabi untuk berdakwah dan menyebarkan hukum Tuhan yang ada (monoteisme). 

PENUTUP KENABIAN 

Kita kemudian sampai kepada pahaman bahwa setiap Nabi setiap zaman dan perjalanan kenabian sama dalam membawakan pesan, yakni menyembah kepad Tuhan (Monoteisme). Prinsip dan ajaran ini diterangkan kepada masyarakat manusia secara bertahap dengan perkembangan peradaban meraih untuk meraih tahapan ketika seluruh ajaran dalam bentuknya yang komprehensif didakwakan. Seperti pada penutup yang dibawkan oleh Rasulullah Saw. Namun pertanyaan kemudian timbul adalah kenap tidak ada lagi pembaharuan kenabian? 

Alasan pertama, manusia masa lampau karena kekuranganmatangan intelektualnya tidak mampu menjawab kitab suci. Biasanya yang terjadi adalah kitab suci diubah dan diselewengkan atau bahkan hilang sama sekali. Jadi penting untuk memperbaharui wahyu dari masa ke masa. Pewahyuan Al-Qur’an suci terkait dengan sebuah masa ketika kemanusiaan telah melewati masa kanak-kanak dan menjadikannya mampu untuk merawat warisan intelektualnya. Inilah mengapa tidak ada perubahan dalam kitab suci terakhir. 

Kedua, kemanusiaan mencapai kematangannya sebelum kemanusiaan belum cukup kompeten untuk memiliki sebuah program lengkap dan menyeluruh terkait penjagaan terhadap wahyu ilahi, sehingga penting untuk dijaga oleh para Nabi tahap demi tahap. Namun pada masa kenabian terahkir telah berkembang mencapai tahapan mampu untuk memiliki acuan perilaku yang komprehensif dan tidak memerlukan wahyu baru lagi. 

Posting Komentar

0 Komentar